Minggu, 28 Agustus 2011

BATUBARA INDONESIA


Oleh: Masafumi Uehara (JCOAL Resources Development Division)
1. Pendahuluan
Indonesia adalah pemasok batubara terbesar kedua bagi Jepang, dan negara ini akan tetap menempati posisi yang penting terhadap stabilitas pasokan batubara yang digunakan di Jepang di masa mendatang. Tulisan di bawah ini akan menyajikan kondisi terkini industri batubara Indonesia.
2. Gambaran Umum Industri Batubara Indonesia
Batubara Indonesia terutama dihasilkan dari Kalimantan dan Sumatera, serta sejumlah kecil dari Jawa, Sulawesi, dan tempat lain. Tambang – tambang & pelabuhan batubara utama di Indonesia ditampilkan pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Lokasi tambang & pelabuhan batubara utama
Industri batubara Indonesia yang berkembang dengan baik selama ini ditopang oleh kebijakan batubara pemerintah yang memperkenalkan investasi asing secara agresif. Dari segi jumlah produksi, terdapat kenaikan yang sangat signifikan dimana angka produksi 15 tahun lalu yang hanya sebesar 31 juta ton meningkat hingga 8 kali lipat pada tahun 2010 menjadi 256 juta ton. Dan dalam 5 tahun terakhir ini terlihat kenaikan produksi sebanyak 20 juta ~ 40 juta ton per tahun. Demikian pula dengan volume ekspor yang terus meningkat, dimana ekspor pada tahun 2010 telah mencapai angka 198 juta ton sehingga menempatkan Indonesia menjadi salah satu eksportir batubara terbesar di dunia. Dari yang sebelumnya eksportir minyak, Indonesia sekarang ini adalah negara importir minyak, yang menyebabkan batubara semakin menempati posisi yang penting menggantikan minyak dalam komposisi penggunaan energi di Indonesia.Akan tetapi, pada saat yang bersamaan pemerintah juga dihadapkan pada berbagai tantangan permasalahan, diantaranya semakin menjauhnya lokasi penambangan ke pedalaman, meningkatnya rasio pengupasan (stripping ratio), serta kekhawatiran tentang masalah lingkungan seperti kerusakan hutan. Batubara Indonesia memiliki kadar abu dan sulfur yang rendah sehingga dikenal ramah lingkungan. Hal ini menyebabkan batubara Indonesia semakin kompetitif di pasar dunia, di tengah kesadaran lingkungan yang makin meningkat pada saat ini. Dan untuk menjamin pasokan batubara bagi industri dalam negeri, membuka tambang – tambang baru melalui daya dorong investasi termasuk investasi asing, serta mengeliminasi penambangan ilegal dan praktik suap dalam usaha penambangan, maka pemerintah mengeluarkan UU Mineral & Batubara / UU Minerba (UU No 4 tahun 2009) sebagai pengganti UU No 11 tahun 1967, yang ditandatangani oleh Presiden pada bulan Januari 2009. Selain itu, pemerintah juga memberikan perhatian yang serius terhadap upaya pengembangan energi berbahan baku batubara seperti UBC, pencairan batubara, dan gasifikasi batubara.
3. Kondisi Energi di Indonesia
Tabel 1 di bawah ini menampilkan data aktual konsumsi energi primer Indonesia tahun 2008 dan prediksi konsumsi energi primer tahun 2025, sedangkan tabel 2 menunjukkan komposisi pembangkitan listrik dari tahun 2005 sampai 2007. Pada komposisi energi primer terlihat peningkatan rasio untuk batubara setiap tahunnya, dimana persentase batubara yang hanya sebesar 18.3% pada tahun 2008, direncanakan meningkat hingga 33% pada tahun 2025. Rencana ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan peranan batubara sebesar 33% pada bauran energi nasional di tahun 2025. Peraturan ini menunjukkan dengan jelas mengenai kebijakan untuk mendorong pengusahaan batubara, sebagai upaya untuk mendukung konversi energi minyak ke batubara. Dalam pembangkitan listrik pun rasio pemakaian batubara juga terus meningkat setiap tahunnya, dimana realisasi pada tahun 2007 mencatat angka sebesar 63%. Adapun rasio gas alam pada pembangkitan listrik menurun karena adanya kebijakan peningkatan ekspor gas.
Tabel 1. Statistik energi primer
Tabel 2. Komposisi bahan bakar pada pembangkitan listrik
 
4. Cadangan dan Kualitas Batubara
Cadangan batubara Indonesia dihitung berdasarkan eksplorasi yang terus dilakukan, sehingga angkanya pun terus membesar seiring dengan ditemukannya lapisan – lapisan baru batubara. Tabel 3 menampilkan sumber daya batubara Indonesia, sedangkan tabel 4 menunjukkan sumber daya batubara berdasarkan kualitasnya. Meskipun total sumber daya batubara Indonesia mencapai 104,7 miliar ton, tapi cadangan yang bisa ditambang hanya sekitar 1/5nya saja, yaitu sebesar 21,1 miliar ton. Jumlah ini dipastikan akan bertambah seiring dengan eksplorasi yang terus berlangsung. Dilihat dari wilayah, maka hampir seluruh cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatera (50,06%) dan Kalimantan (49,56%), sedangkan sebagian kecil terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua. Batubaranya pun hampir semuanya berjenis batubara uap, dengan karakteristik kadar abu dan sulfur yang rendah. Dari cadangan yang ada, diketahui bahwa jumlah untuk tipe bituminus dan sub-bituminus sebesar kurang lebih 40%, sedangkan sebagian besar sisanya adalah lignit (dalam tabel 4 merujuk ke sebagian batubara berkualitas sedang dan rendah). Antrasit juga diproduksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit. Di Kalimantan bagian tengah juga diketahui terdapat batubara kokas sehingga pembangunan tambang di sana berlangsung dengan pesat dalam beberapa tahun belakangan ini.
Tabel 3. Sumber daya & cadangan batubara
Tabel 4. Sumber daya batubara berdasarkan kualitas
5. Sistem Operasi Produksi dan Jumlah Produksi Batubara
Sistem operasi produksi batubara Indonesia secara garis besar terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu ① BUMN (PT Bukit Asam/PTBA), ② PKP2B atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (Coal Contract of Work/CCoW) yang terbagi menjadi 3 generasi, ③ KP (Kuasa Penambangan), dan ④ KUD. PKP2B adalah kelompok yang lahir dari hasil kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendorong pengusahaan batubara melalui upaya mengundang investasi asing secara agresif. Tambang – tambang PKP2B memberikan kontribusi yang besar dalam menggenjot jumlah produksi batubara Indonesia yang meningkat secara drastis sekarang ini. PTBA memiliki tambang terbuka skala besar di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, serta tambang bawah tanah di Ombilin, Sumatera Barat. Adapun tambang – tambang berstatus KP umumnya adalah tambang investasi dalam negeri, sedangkan tambang – tambang KUD biasanya berskala kecil.
Dengan diundangkannya UU No 4 tahun 2009, maka hanya kontrak PKP2B yang masih terus berlanjut, sedangkan sistem yang lainnya tidak berlaku lagi.
UU Minerba yang baru menetapkan adanya Wilayah Pertambangan (WP), yang didalamnya terbagi menjadi 3 jenis wilayah pengusahaan mineral & batubara, yaitu Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), serta Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK). UU ini juga menetapkan aturan baru berupa Ijin Usaha Pertambangan (IUP), yang dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, perusahaan swasta, KUD, maupun perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Sebagai upaya mewujudkan transparansi perijinan, maka sistem tender diberlakukan pada proses pemberian IUP ini. Ijin pengusahaan terbagi berdasarkan wilayah pertambangannya, yaitu Ijin Usaha Pertambangan (IUP), Ijin Pertambangan Rakyat (IPR), serta Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUP sendiri terbagi menjadi IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Sebagai peraturan pelaksana dari UU ini, maka pemerintah secara bertahap mengeluarkan peraturan – peraturan tentang ① Usaha pertambangan mineral dan batubara, ② Wilayah pertambangan (PP No 22 tahun 2010), ③ Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral & batubara (PP No 23 tahun 2010), serta ④ Reklamasi lahan pasca tambang.
Statistik jumlah produksi batubara Indonesia ditampilkan pada tabel 5 di bawah. Pada tahun 2009, jumlah produksi mencapai 256 juta ton, yang sebagian besar dihasilkan oleh 10 perusahaan tambang PKP2B generasi 1. Berdasarkan realisasi produksi tahun 2008, tambang – tambang dengan jumlah produksi melebihi 10 juta ton adalah Adaro (38 juta ton), KPC (36 juta ton), Kideco Jaya Agung (22 juta ton), Berau Coal (13 juta ton), Arutmin (16 juta ton), serta Indominco Mandiri (11 juta ton). Keseluruhan jumlah produksi dari keenam tambang tersebut mendekati 60% dari total produksi batubara nasional.
Tabel 5. Jumlah produksi batubara
Foto 1 di bawah ini menampilkan lokasi penambangan PT. Adaro, yang merupakan produsen batubara terbesar di Indonesia. Tambang ini memiliki beberapa lapisan batubara dengan ketebalan antara 10m sampai 30m di lokasinya, dan memanfaatkan teknologi penambangan mutakhir yang aplikasinya masih sedikit di dunia. Saat ini Adaro telah berkembang menjadi tambang terbuka berskala besar.
Foto 1. Lapangan penggalian PT. Adaro
Jumlah tambang berdasarkan sistem operasi produksi ditunjukkan pada tabel 6. Angka yang ditampilkan adalah data aktual per September 2010. Tambang BUMN hanya 1 perusahaan, yaitu PTBA. Untuk PKP2B generasi 1, dari yang awalnya sebanyak 11 buah kini tinggal 10 saja karena 1 tambang mengundurkan diri dari kontrak. Ke-10 tambang tersebut seluruhnya sudah berproduksi saat ini. Untuk generasi 2, dari 18 tambang di awal, kini hanya 12 buah yang masih melanjutkan kontrak, dimana 10 tambang sudah mulai berproduksi. Adapun untuk generasi 3, dari 100 lebih tambang di awal, 30 buah lebih sudah mengundurkan diri sehingga tersisa 54 tambang saja yang melanjutkan kontrak. Dan dari 54 tambang itu, 20 buah sudah mulai berproduksi. Dengan demikian, tambang – tambang PKP2B yang terus melakukan pengembangan berjumlah 76 buah, yang 40 di antaranya sudah berproduksi. Untuk tambang berstatus KP, saat ini jumlahnya meningkat secara drastis dan diperkirakan lebih dari 2500 buah, sebagai akibat dari kebijakan pemindahan wewenang perijinan kuasa penambangan saat berlakunya undang – undang otonomi daerah pada tahun 1999. Dari jumlah tersebut, 900 tambang diantaranya sudah memenuhi prosedur perijinan berdasarkan UU Minerba yang baru, yaitu IUP. Dengan berlanjutnya pembangunan tambang oleh tambang – tambang PKP2B generasi 2 dan 3 serta KP, maka produksi batubara Indonesia diperkirakan akan terus meningkat ke depannya.
Tabel 6. Jumlah tambang berdasarkan sistem operasi produksi
6. Jumlah Kebutuhan Domestik dan Ekspor
Statisik jumlah kebutuhan domestik ditampilkan pada tabel 7. Terlihat bahwa pembangkitan listrik dan industri semen mendominasi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2005, konsumsi domestik adalah sebanyak 41,35 juta ton, naik menjadi 56 juta ton pada tahun 2009. Dengan diluncurkannya crash program 10.000 MW di bidang kelistrikan, maka kebutuhan domestik diperkirakan akan meningkat hingga 64,96 juta ton pada tahun 2010, serta 78,97 juta ton pada tahun 2011. (Sumber: Seminar APEC di Fukuoka tahun 2010).
Tabel 7. Kebutuhan domestik
Kemudian untuk realisasi ekspor, statistiknya ditampilkan pada tabel 8. Ekspor batubara Indonesia terus mengalami peningkatan, dengan tujuan utama ke Asia, yaitu Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Realisasi ekspor tahun 2009 adalah sebesar 198 juta ton.
Tabel 8. Realisasi ekspor batubara Indonesia
7. Prediksi Jumlah Produksi, Kebutuhan Domestik, dan Ekspor
Prediksi dalam jangka panjang untuk jumlah produksi batubara, jumlah kebutuhan domestik serta ekspor ditampilkan pada tabel 9. Mulai berproduksinya tambang – tambang PKP2B yang tersisa serta KP akan meningkatkan produksi batubara setiap tahunnya sehingga jumlah produksi pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 405 juta ton. Volume kebutuhan domestik pun akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, sehingga pada tahun 2025 diprediksi sebesar 220 juta ton. Hal ini berarti peningkatan tajam sekitar 4 kali lipat dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang sebesar 49 juta ton. Meningkatnya kebutuhan domestik mengakibatkan pertumbuhan untuk ekspor diperkirakan hanya akan sampai tahun 2015, kemudian menurun hingga angka 185 juta ton pada tahun 2025.
Tabel 9. Prediksi jumlah produksi, kebutuhan domestik, dan ekspor
8. Kondisi Infrastruktur dan Pelabuhan Batubara
Di Indonesia, infrastruktur yang terkait dengan pengusahaan batubara belumlah memadai. Transportasi batubara umumnya memanfaatkan sungai besar, seperti Sungai Musi di Sumatera Selatan, Sungai Barito di Kalimantan Tengah dan Selatan, serta Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Kereta batubara sampai saat ini hanya digunakan di tambang PTBA Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Selain itu, terminal batubara dan pelabuhan batubara dapat dikatakan belum memadai pula. Batubara kebanyakan diangkut dengan menggunakan tongkang melewati sungai kemudian dipindahkan ke kapal batubara besar di laut lepas (trans-shipment) sehingga efisiensi pengangkutan menjadi kurang baik. Untuk itu, perlu upaya baru untuk mengatasi hal ini, misalnya penggunaan fasilitas penimbunan dan pengangkutan batubara terapung skala besar (mega float) atau pusher barge. Tabel 10 menampilkan pelabuhan – pelabuhan batubara di Indonesia,  sedangkan foto 2 menampilkan situasi lokasi trans-shipment di lepas pantai Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Taboneo). Kemudian foto 3 menunjukkan suasana trans-shipment dari tongkang ke kapal besar. Di Taboneo, banyak kapal batubara besar yang menunggu dalam jangka waktu lama.
Tabel 10. Pelabuhan – pelabuhan batubara di Indonesia
Foto 2. Suasana di Taboneo
Foto 3. Trans-shipment dari tongkang ke kapal besar
9. Dampak Positif Pengusahaan Batubara dan Kebijakan Yang Perlu Diambil
Di Indonesia, batubara memberikan kontribusi yang besar terhadap pemasukan negara. Berikut ini adalah dampak positif dari pengusahaan batubara:
  • Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan yang penting bagi negara maupun daerah.
  • Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting.
  • Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi daerah.
Meskipun demikian, diperlukan kebijakan baru untuk menjamin pengusahaan batubara ini ke depannya, misalnya penguatan pengawasan tambang terkait berpindahnya mekanisme pengawasan ke daerah, penanganan masalah lingkungan, serta tindakan tegas terhadap penambangan tanpa ijin (PETI) yang selalu saja menjadi masalah laten.
10. UU Minerba Baru
Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara masih diperlukan untuk menunjang pembangunan, sehingga pengembangan tambang batubara masih akan terus berlanjut. Pelaksanaan UU Mineral dan Batubara yang baru ditujukan untuk mendorong realisasi hal itu. Di bawah ini adalah poin – poin penting dalam UU tersebut:
  • Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan oleh gubernur, bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi daerah).
  • Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam negeri, dalam hal ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang (Belum ada kewajiban untuk membangun fasilitas prepasi batubara/coal preparation plant).
  • Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan pembangunan daerah (community development) dan penanganan lingkungan yang terkait dengan pelaksanaan pertambangan.
  • Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah produksi, volume ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan kewajiban suplai untuk kebutuhan domestic (Domestic Market Obligation / DMO) dan regulasi harga batubara (Indonesia Coal Price Reference / ICPR).
  • Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN dan perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah Pencadangan Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat.
  • Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat publik. Aturan hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran menjadi lebih tegas, serta memungkinkan hukuman pidana bagi badan hukum.
11. Penutup
UU Minerba yang baru mengatur kebijakan DMO, yang berarti memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dibandingkan ekspor. Sudah tentu hal ini menjadi perhatian bagi negara – negara pengimpor batubara Indonesia, termasuk Jepang di dalamnya. Tetapi pemerintah Indonesia menyatakan bahwa volume ekspor tidak akan mengalami kendala dalam beberapa waktu ke depan, karena pertumbuhan konsumsi dalam negeri diperkirakan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan produksi batubara nasional. Selain itu, pemerintah juga mencanangkan pengurangan emisi CO2sebesar 26% sampai dengan tahun 2030 melalui tindakan seperti pemakaian bio-fuel dan konversi ke energi panas bumi, meskipun kebijakan konkretnya masih belum jelas. Dengan demikian, maka topik yang harus diperhatikan bersama adalah jumlah kebutuhan energi dalam negeri  Indonesia dan sumber energi yang memasoknya.
* Terjemah bebas artikel berjudul “Indonesia sekitan jijou”, dalam JCOAL Journal Vol 18, Januari 2011.

INVESTOR BATUBARA


Funder Batu Bara / Investor. Banyak perusahaan besar di Indonesia ekspansi ke bisnis pertambangan batubara dikarenakan memang bisnis pertambangan merupakan bisnis yang menggiurkan dan merupakan pilihan tepat bagi para pemilik modal untuk membuka segmen bisnis barunya yang bilamana di manajemeni dengan baik , maka dalam waktu yang singkat dapat menembus BEP perusahaan .

Apalagi kebutuhan akan batubara baik di Indonesia atau dunia semakin meningkat dan stabil. Di Indonesia dimotori oleh perusahaan Bakrie dengan bakrie resources nya , kemudian ada arutmin , adaro , kaltim prima coal , berau coal , bayan resources dan indika energy.  Perusahaan besar di Indonesia seperti : Group Djarum , Gudang Garam , Bentoel , Sampoerna Group , Garuda Group , Indofood , Sinar Mas , Ciputra , Sido Muncul , Unilever , Berca , PLN , Telkom , BCA , Bank Mandiri , Bank BNI , Trans Corpora , Surya Citra Media Tbk , Rajawali Citra Televisi Indonesia , Media Group dan Group - group perusahaan besar lain nya pasti melirik bisnis pertambangan , entah langsung membuka Perusahaan pertambangan sendiri ataupun melakukan joint venture profit share dengan perusahaan asing / lokal untuk menjalankannya. Perusahaan - perusahaan diatas adalah para pemodal besar yang memiliki pendanaan Trilyunan , jadi tidak heran ketika mereka bisa dengan mudah merambah bisnis lain. Dan keputusan mereka adalah keputusan tepat dalam hal pemutaran modal , pengembangan bisnis / ekspansi dan penguatan korporasi.

Sebenarnya bisnis pertambangan tidak selalu di dominasi oleh perusahaan - perusahaan besar tersebut. Perusahaan sedang / menengah yang memiliki modal antara 10 jt $ - 50 jt $ US  pun bisa terjun ke bisnis pertambangan , bahkan individu / perseorangan yang memiliki modal sebesar 10 jt $ keatas bisa menjadi seorang Funder  Batu Bara.
Menurut data kami sekarang , kami telah menjalin komunikasi dengan baik dengan sesama pelaku bisnis pertambangan batubara.  Banyak perusahaan pertambangan menengah memerlukan dana segar untuk operasionalnya , guna menunjang pertumbuhan bisnis tersebut semakin berkembang.

Perusahaan pertambangan batubara yang sudah memiliki ijin operasional , memiliki SDM , memiliki order / pelanggan tetap / reguler , menjalankan bisnis batubara dengan baik pun masih membutuhkan funder batu bara untuk kelancaran bisnisnya, terlebih lagi dengan perusahaan perusahaan yang belum terlalu mengenal dunia pembayaran dengan menggunakan LC ataupun surat berharga lainnya , disamping itu juga dalam operasi produksi yang memang pada saat start awal membutuhkan dana yg cukup besar >

Banyak pelaku bisnis pertambangan / pemilik perusahaan tambang sangat bersemangat mencari mitra baru / funder batu bara untuk menjalankan bisnisnya dengan cara joint venture / joint operation.  Nah , kesempatan ini harusnya mendapatkan respon positif dari para pelaku bisnis lain seperti Perusahaan menengah / per seorangan yang tertarik masuk ke bisnis pertambangan.

Sebagai catatan penting adalah , sebagai funder batubara / investor yang memiliki dana besar , anda harus memperoleh data - data lengkap tentang perusahaan pertambangan mana yang akan anda support / danai.  Faktor memilih perusahaan pertambangan sebagai mitra joint venture adalah sangat penting , karena tujuan anda masuk ke dalam bisnis pertambangan adalah membuka bisnis baru yang memiliki prospek bisnis positif , tumbuh berkembang dan menguntungkan, namun juga jangan gegabah dalam memilah perusahaan penambangan karena faktor Legalitas yang memang harus di perhatikan se akurasi mungkin , juga faktor klausul kontrak yang akan di tanda tangani akan berdampak dikemudian hari .

Kesempatan sebagai Funder  ini terbuka untuk para pemilik modal baik itu Perusahaan sedang / perseorangan yang memiliki dana 10 jt $ - 50 jt $ US sebagai Funder Batu bara. Bagi anda yang tertarik ataupun anda yang membaca informasi ini kemudian ( atasan / boss ) juga tertarik di bisnis batubara , boleh kiranya informasi ini anda sebarkan ke para relasi / atasan anda.
Bagi para mediator , pemasar pendanaan proyek , trader batubara , ataupun pihak - pihak yang terkait dengan pendanaan atau pertambangan , silahkan disimpan sebagai data atau anda bisa menyebarkan ke rekanan anda yang berminat di bisnis batubara.

Untuk Funder , kami  selalu siap membantu para calon Funder  batu bara untuk  memilih / memutuskan kemana investasi pendanaan anda disalurkan. Kami tentunya memiliki relasi bisnis langsung / pemilik atau pelaku bisnis pertambangan. Memilih Perusahaan Pertambangan yang memiliki track record baik , prospek bisnis ke depan yang bagus , memiliki sdm yang jujur dan ber integritas , serta program Joint venture yang saling menguntungkan.
Hubungi kami , segenap team batubara-indonesia.com mengucapkan selamat membuka bisnis baru di bidang pertambangan batubara , semoga dari sini akan menjadi momentum sejarah perkembangan bisnis anda ber - ekspansi.

Dari berbagai sumber

Mengapa China Impor Batu Bara dari Indonesia?

CHINA bukan saja mengimpor (membeli) batu bara dari Indonesia, mereka juga berinvestasi di sektor penggalian batu bara di Indonesia. Mereka juga berminat melakukan berbagai macam investasi untuk memudahkan mendapatkan batu bara dari Indonesia.

Apakah mereka mengalami kekurangan persediaan batu bara? Atau mereka punya niat baik membantu perekonomian Indonesia melalui peningkatan ekspor dan investasi asing (foreign direct investment/ FDI)? Bukan itu alasannya. Alasan yang benar, mereka tidak ingin merusak lingkungan mereka sendiri dengan peningkatan penggalian batu bara yang luar biasa.

Mereka membutuhkan batu bara untuk mendorong peningkatan ekonomi mereka yang luar biasa, maka mereka memutuskan untuk mencari dan menggali batu bara dari negara lain, termasuk Indonesia dan Vietnam.

Dengan demikian, mereka mendapatkan batu bara tanpa harus merusak lingkungannya. Itulah ringkasan tulisan yang dimuat di The Straits Times, koran berbahasa Inggris di Singapura pada 16 Agustus 2010. Dalam artikel yang berjudul “Beijing’s Quest for Coal Poses Concerns for S-E Asia”, disebutkan bahwa sejak 2009 China merupakan negara yang secara neto mengimpor batu bara (net importer).

Produksi batu baranya masih amat besar tetapi ekspornya telah menurun, sementara impornya lebih banyak daripada ekspor mereka. Di Asia Tenggara, Vietnam, dan Indonesia merupakan pemasok utama batu bara murah ke China. Ekspor dari Indonesia telah meningkat dengan cepat sejak 2000 dan memasok kira-kira tiga per empat kebutuhan batu bara China.

Sebagian besar batu bara tersebut berasal dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Geoffrey Pakiam, penulis artikel tersebut, mengatakan bahwa China mungkin akan menjadi salah satu negara pengimpor batu bara terbesar di dunia. Hal ini merupakan perubahan yang amat besar.

Sebelumnya selama dua dasawarsa China merupakan salah satu negara pengekspor batu bara terbesar di dunia. Pemerintah China telah memanfaatkan ekspor batu bara sebagai alat untuk meningkatkan cadangan devisa mereka. China mempunyai cadangan batu bara ketiga terbesar di dunia.

Pada 2009, produksi batu bara di China lebih besar dari produksi di delapan negara penghasil batu bara terbesar di dunia: Amerika Serikat, Australia, India, Indonesia, Afrika Selatan, Rusia, Polandia, dan Kazakhstan. Pakiam juga menyebutkan bahwa China tidak saja aktif dalam mencari batu bara di negara lain.

Mereka pun aktif mencari sumber daya alam lain, terutama minyak. Bisnis mereka, yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah China, juga merambah Afrika dalam usaha mereka mencari sumber daya alam yang murah. Ekspansi bisnis ini pernah mendapat kritikan karena tidak memperhatikan masalah hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan di Afrika. Mereka berinvestasi di Afrika sub-Sahara karena mereka tahu pemerintahan di negara-negara ini amat lemah.

Selain itu, peraturan mengenai keselamatan pekerja tidak kuat. Tulisan tersebut sangat menarik, memperlihatkan mengapa China berminat mengimpor batu bara dan sumber daya alam. Mengapa mereka tidak menggunakan sumber daya alam yang ada di mereka sendiri padahal memiliki dalam jumlah yang amat banyak.

Mereka sadar mengenai dampak lingkungan akibat penggalian sumber daya alam yang luar biasa. Mereka menghadapi dilema, pertumbuhan ekonomi yang cepat disertai kerusakan lingkungan yang juga cepat. Atau pertumbuhan ekonomi yang lambat tetapi lingkungan terjaga. Rupanya mereka telah memilih alternatif lain, pertumbuhan yang cepat tanpa merusak lingkungan.

Caranya: menggunakan sumber daya alam, termasuk batu bara, dari negara lain. Maka China mendapatkan batu bara yang dibutuhkan (dan murah), tanpa harus mengorbankan lingkungannya. Negara lain (termasuk Indonesia) harus menanggung kerusakan lingkungan. Artikel itu belum tentu benar. Namun, apa yang dikemukakan dalam tulisan tersebut dapat digunakan sebagai bahan pemikiran kita dalam memilih investasi asing. Bukan hanya dari China tetapi juga dari semua negara di dunia. Seberapa banyak kita memperoleh manfaat dari ekspor dan investasi batu bara untuk negara lain (termasuk China).

Memang, produksi dan ekspor batu bara menaikkan produk domestik bruto (PDB) kita. PDB adalah pengukuran pendapatan nasional yang memasukkan nilai tambah yang dimiliki oleh orang asing yang bekerja di Indonesia. Maka, kita perlu melihat berapa persen nilai tambah yang dapat masuk ke warga negara Indonesia.

Selanjutnya, nilai tambah yang masuk ke warga negara Indonesia itu digunakan untuk apa? Berikutnya, berapa nilai kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan tersebut? Memang bukan masalah jangka pendek, melainkan pembangunan ekonomi yang mempunyai visi ke depan, melihat kepentingan generasi yang lebih muda, dan jauh lebih muda.

Pengimpor dan investor batu bara sudah sadar mengenai permasalahan lingkungan di negara mereka, mengapa kita mau merusak lingkungan kita sendiri demi kepentingan mereka? Dalam era globalisasi, dengan perdagangan bebas dan kebebasan arus modal, kita memang sulit melarang orang asing melakukan impor dan investasi di Indonesia.

Beberapa negara juga sering menggunakan alasan perdagangan bebas dan kebebasan arus modal internasional agar mereka diizinkan masuk ke negara lain, dan “merusak” lingkungan di negara lain. Mereka diuntungkan. Mereka mendapatkan barang yang diinginkan, tanpa merusak lingkungan mereka.

Persoalannya, orang Indonesia sendiri–pebisnis dan masyarakat setempat–juga menikmati ekspor sumber daya alam yang murah dan merusak lingkungan itu. Petani kecil di pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, misalnya, bersyukur dengan adanya pertambangan batu bara di daerahnya. Hidup mereka menjadi lebih baik daripada ketika mereka “sekadar” menjadi petani. Mereka tidak sadar, bahwa 15 atau 20 tahun kemudian batu bara di daerahnya dapat habis.

Mereka tidak akan dapat bekerja di situ lagi, sementara daerah pertanian mereka telah rusak. Kasus batu bara ini mungkin dapat menjadi satu contoh kasus, bahwa kita perlu mengkaji ulang kebijakan ekonomi yang mengandalkan pada ekspor (barang jadi,sumber daya alam, atau tenaga kerja) yang murah dan investasi asing, tanpa melihat dampak yang terjadi di Indonesia, khususnya mengenai masalah lingkungan.

Saat ini pun, sudah makin banyak ekonom yang menyarankan untuk mengkaji ulang model perekonomian yang mengandalkan pada ekspor (export driven economy) dan penanaman modal asing. Kita tidak perlu anti pada ekspor dan penanaman modal asing. Kita memerlukan ekspor dan penanaman modal asing.

Namun, ekspor dan penanaman modal asing jangan dijadikan prioritas utama dalam pembangunan ekonomi kita. Ada banyak hal lain yang justru lebih penting dari pada pertumbuhan ekonomi (yang diukur dengan PDB). Masalah lingkungan harus menjadi pertimbangan yang jauh lebih penting dari pada sekadar pertumbuhan PDB, pertumbuhan ekspor, dan peningkatan penanaman modal asing.(adn)



Sumber : 


http://economy.okezone.com/read/2010/09/07/279/370826/mengapa-china-impor-batu-bara-dari-indonesia

Teknologi Pembakaran Pada PLTU Batubara

gambar-131
Pendahuluan
Klasifikasi kualitas batubara secara umum terbagi 2, yaitu pembagian secara ilmiah dalam hal ini berdasarkan tingkat pembatubaraaan, dan pembagian berdasarkan tujuan penggunaannya. Berdasarkan urutan pembatubaraannya, batubara terbagi menjadi batubara muda (brown coal atau lignite), sub bituminus, bituminus, dan antrasit. Sedangkan berdasarkan tujuan penggunaannya, batubara terbagi menjadi batubara uap (steam coal), batubara kokas (coking coal atau metallurgical coal), dan antrasit.
Batubara uap merupakan batubara yang skala penggunaannya paling luas. Berdasarkan metodenya, pemanfataan batubara uap terdiri dari pemanfaatan secara langsung yaitu batubara yang telah memenuhi spesifikasi tertentu langsung digunakan setelah melalui proses peremukan (crushing/milling) terlebih dulu seperti pada PLTU batubara, kemudian pemanfaatan dengan memproses terlebih dulu untuk memudahkan penanganan (handling) seperti CWM (Coal Water Slurry), COM (Coal Oil Mixture), dan CCS (Coal Cartridge System), dan selanjutnya pemanfataan melalui proses konversi seperti gasifikasi dan pencairan batubara
Pada PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara uap yang terdiri dari kelas sub bituminus dan bituminus. Lignit juga mulai mendapat tempat sebagai bahan bakar pada PLTU belakangan ini, seiring dengan perkembangan teknologi pembangkitan yang mampu mengakomodasi batubara berkualitas rendah.
gambar-1
Gambar 1. Skema pembangkitan listrik pada PLTU batubara
(Sumber: The Coal Resource, 2004)
Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang digunakan untuk mengubah air dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut menjadi uap, yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin dan memutar generator. Kinerja pembangkitan listrik pada PLTU sangat ditentukan oleh efisiensi panas pada proses pembakaran batubara tersebut, karena selain berpengaruh pada efisiensi pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya pembangkitan. Kemudian dari segi lingkungan, diketahui bahwa jumlah emisi CO2 per satuan kalori dari batubara adalah yang terbanyak bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, dengan perbandingan untuk batubara, minyak, dan gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan uji coba yang mendapatkan hasil bahwa kenaikan efisiensi panas sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 2,5%, maka efisiensi panas yang meningkat akan dapat mengurangi beban lingkungan secara signifikan akibat pembakaran batubara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teknologi pembakaran (combustion technology) merupakan tema utama pada upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan batubara secara langsung sekaligus upaya antisipasi isu lingkungan ke depannya.
Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu pembakaran lapisan tetap (fixed bed combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized coal combustion /PCC), dan pembakaran lapisan mengambang (fluidized bed combustion / FBC). Gambar 3 di bawah ini menampilkan jenis – jenis boiler yang digunakan untuk masing – masing metode pembakaran.

gambar-2
Gambar 2. Tipikal boiler berdasarkan metode pembakaran
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pembakaran Lapisan Tetap
Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses pembakarannya. Sebagai bahan bakarnya adalah batubara dengan kadar abu yang tidak terlalu rendah dan berukuran maksimum sekitar 30mm. Selain itu, karena adanya pembatasan sebaran ukuran butiran batubara yang digunakan, maka perlu dilakukan pengurangan jumlah fine coal yang ikut tercampur ke dalam batubara tersebut. Alasan tidak digunakannya batubara dengan kadar abu yang terlalu rendah adalah karena pada metode pembakaran ini, batubara dibakar di atas lapisan abu tebal yang terbentuk di atas kisi api (traveling fire grate) padastoker boiler. Bila kadar abunya sangat sedikit, lapisan abu tidak akan terbentuk di atas kisi tersebut sehingga pembakaran akan langsung terjadi pada kisi, yang dapat menyebabkan kerusakan yang parah pada bagian tersebut. Oleh karena itu, kadar abu batubara yang disukai untuk tipe boiler ini adalah sekitar 10 – 15%. Adapun tebal minimum lapisan abu yang diperlukan untuk pembakaran adalah 5cm.
gambar-3
Gambar 3. Stoker Boiler
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pada pembakaran dengan stoker ini, abu hasil pembakaran berupa fly ash jumlahnya sedikit, hanya sekitar 30% dari keseluruhan. Kemudian dengan upaya seperti pembakaran NOx dua tingkat, kadar NOx dapat diturunkan hingga sekitar 250 – 300 ppm. Sedangkan untuk menurunkan SOx, masih diperlukan tambahan fasilitas berupa alat desulfurisasi gas buang.
Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC)
Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih menggunakan metode PCC pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini karena sistem PCC merupakan teknologi yang sudah terbukti dan memiliki tingkat kehandalan yang tinggi. Upaya perbaikan kinerja PLTU ini terutama dilakukan dengan meningkatkan suhu dan tekanan dari uap yang dihasilkan selama proses pembakaran. Perkembangannya dimulai dari sub critical steam, kemudian super critical steam, serta ultra super critical steam (USC). Sebagai contoh PLTU yang menggunakan teknologi USC adalah pembangkit no. 1 dan 2 milik J-Power di teluk Tachibana, Jepang, yang boilernya masing – masing berkapasitas 1050 MW buatan Babcock Hitachi. Tekanan uap yang dihasilkan adalah sebesar 25 MPa (254.93 kgf/cm2) dan suhunya mencapai 600/610 (1 stage reheat cycle). Perkembangan kondisi uap dan grafik peningkatan efisiensi pembangkitan pada PCC ditunjukkan pada gambar 4 di di bawah ini.
gambar-41
Gambar 4. Perkembangan kondisi uap PLTU
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal pulverizer (coal mill) sampai berukuran 200 mesh (diameter 74μm), kemudian bersama – sama dengan udara pembakaran disemprotkan ke boiler untuk dibakar. Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas batubara yang digunakan, terutama sifat ketergerusan (grindability), sifat slagging, sifat fauling, dan kadar air (moisture content). Batubara yang disukai untuk boiler PCC adalah yang memiliki sifat ketergerusan dengan HGI (Hardgrove Grindability Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari 30%, serta rasio bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran dengan metode PCC ini akan menghasilkan abu yang terdiri diri dari clinker ash sebanyak 15% dan sisanya berupa fly ash.
gambar-5
Gambar 5. PCC Boiler
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Ketika dilakukan pembakaran, senyawa Nitrogen yang ada di dalam batubara akan beroksidasi membentuk NOx yang disebut dengan fuel NOx, sedangkan Nitrogen pada udara pembakaran akan mengalami oksidasi suhu tinggi membentuk NOx pula yang disebut dengan thermal NOx. Pada total emisi NOx dalam gas buang, kandungan fuel NOx mencapai 80 – 90%. Untuk mengatasi NOx ini, dilakukan tindakan denitrasi (de-NOx) di boiler saat proses pembakaran berlangsung, dengan memanfaatkan sifat reduksi NOx dalam batubara.
gambar-6
Gambar 6. Proses denitrasi pada boiler PCC
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Pada proses pembakaran tersebut, kecepatan injeksi campuran batubara serbuk dan udara ke dalam boiler dikurangi sehingga pengapian bahan bakar dan pembakaran juga melambat. Hal ini dapat menurunkan suhu pembakaran, yang berakibat pada menurunnya kadar thermal NOx.
Selain itu, sebagaimana terlihat pada gambar 6 di atas, bahan bakar tidak semuanya dimasukkan ke zona pembakaran utama, tapi sebagian dimasukkan ke bagian di sebelah atas burner utama. NOx yang dihasilkan dari pembakara utama selanjutnya dibakar melalui 2 tingkat. Di zona reduksi yang merupakan pembakaran tingkat pertama atau disebut pula pembakaran reduksi (reducing combustion), kandungan Nitrogen dalam bahan bakar akan diubah menjadi N2. Selanjutnya, dilakukan pembakaran tingkat kedua atau pembakaran oksidasi (oxidizing combustion), berupa pembakaran sempurna di zona pembakaran sempurna. Dengan tindakan ini, NOx dalam gas buang dapat ditekan hingga mencapai 150 – 200 ppm. Sedangkan untuk desulfurisasi masih memerlukan peralatan tambahan yaitu alat desulfurisasi gas buang.
Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed Combustion/FBC)
Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu dengan menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25mm. Tidak seperti pembakaran menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran atau metode PCC yang menyemprotkan campuran batubara dan udara pada saat pembakaran, butiran batubara dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara melewatkan angin berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler. Keseimbangan antara gaya dorong ke atas dari angin dan gaya gravitasi akan menjaga butiran batubara tetap dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti fluida yang selalu bergerak. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna karena posisi batubara selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik dan mencukupi untuk proses pembakaran.
Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan bakar yang akan digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang lain. Secara umum, tidak ada pembatasan yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan bakar (fuel ratio) dan kadar abu. Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah sekalipun dapat dibakar dengan baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di permukaannya (free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di atas, nilai tambah dari metode FBC adalah alat peremuk batubara yang dipakai tidak terlalu rumit, serta ukuran boiler dapat diperkecil dan dibuat kompak.
Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 – 1500, maka pada FBC, suhu pembakaran berkisar antara 850 – 900 saja sehingga kadar thermalNOx yang timbul dapat ditekan. Selain itu, dengan mekanisme pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar NOx total dapat lebih dikurangi lagi.
Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan SOx pada metode pembakaran tetap dan PCC, maka pada FBC, desulfurisasi dapat terjadi bersamaan dengan proses pembakaran di boiler. Hal ini dilakukan dengan cara mencampur batu kapur (lime stone, CaCO3) dan batubara kemudian secara bersamaan dimasukkan ke boiler. SOx yang dihasilkan selama proses pembakaran, akan bereaksi dengan kapur membentuk gipsum (kalsium sulfat). Selain untuk proses desulfurisasi, batu kapur juga berfungsi sebagai media untuk fluidized bed karena sifatnya yang lunak sehingga pipa pemanas (heat exchanger tube) yang terpasang di dalam boiler tidak mudah aus.
gambar-7
Gambar 7. Tipikal boiler FBC
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2 yaitu Bubbling FBC dan Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar 7 di atas. Dapat dikatakan bahwa Bubbling FBC merupakan prinsip dasar FBC, sedangkan CFBC merupakan pengembangannya.
Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu cyclone suhu tinggi. Partikel media fluidized bed yang belum bereaksi dan batubara yang belum terbakar yang ikut terbang bersama aliran gas buang akan dipisahkan di cyclone ini untuk kemudian dialirkan kembali ke boiler. Melalui proses sirkulasi ini, ketinggian fluidized bed dapat terjaga, proses denitrasi dapat berlangsung lebih optimal, dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai. Oleh karena itu, selain batubara berkualitas rendah, material seperti biomasa, sludge, plastik bekas, dan ban bekas dapat pula digunakan sebagai bahan bakar pada CFBC. Adapun abu sisa pembakaran hampir semuanya berupa fly ash yang mengalir bersama gas buang, dan akan ditangkap lebih dulu dengan menggunakan Electric Precipitator sebelum gas buang keluar ke cerobong asap (stack).
gambar-8
Gambar 8. CFBC Boiler
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar, disebut dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan udara luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC (PFBC).
Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap perkembangan teknologi FBC ini. Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC menjadiAdvanced PFBC (A-PFBC), sedangkan untuk CFBC selanjutnya berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan kemudian Pressurized ICFBC (PICFBC).
PFBC
Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan air menjadi uap untuk memutar turbin uap, dihasilkan pula gas hasil pembakaran yang memiliki tekanan tinggi yang dapat memutar turbin gas, sehingga PLTU yang menggunakan PFBC memiliki efisiensi pembangkitan yang lebih baik dibandingkan dengan AFBC karena mekanisme kombinasi (combined cycle) ini. Nilai efisiensi bruto pembangkitan (gross efficiency) dapat mencapai 43%.
Sesuai dengan prinsip pembakaran pada FBC, SOx yang dihasilkan pada PFBC dapat ditekan dengan mekanisme desulfurisasi bersamaan dengan pembakaran di dalam boiler, sedangkan NOx dapat ditekan dengan pembakaran pada suhu relatif rendah (sekitar 860) dan pembakaran 2 tingkat. Karena gas hasil pembakaran masih dimanfaatkan lagi dengan mengalirkannya ke turbin gas, maka abu pembakaran yang ikut mengalir keluar bersama dengan gas tersebut perlu dihilangkan lebih dulu. Pemakaian CTF (Ceramic Tube Filter) dapat menangkap abu ini secara efektif. Kondisi bertekanan yang menghasilkan pembakaran yang lebih baik ini secara otomatis akan menurunkan kadar emisi CO2 sehingga dapat mengurangi beban lingkungan.
gambar-9
Gambar 9. Prinsip kerja PFBC
(Sumber: Coal Note, 2001)
Untuk lebih meningkatkan efisiensi panas, unit gasifikasi sebagian (partial gasifier) yang menggunakan teknologi gasifikasi lapisan mengambang (fluidized bed gasification) kemudian ditambahkan pada unit PFBC. Dengan kombinasi teknologi gasifikasi ini maka upaya peningkatan suhu gas pada pintu masuk (inlet) turbin gas memungkinkan untuk dilakukan.
Pada proses gasifikasi di partial gasifier tersebut, konversi karbon yang dicapai adalah sekitar 85%. Nilai ini dapat ditingkatkan menjadi 100% melalui kombinasi dengan pengoksidasi (oxidizer). Pengembangan lebih lanjut dari PFBC ini dinamakan dengan Advanced PFBC (A-PFBC), yang prinsip kerjanya ditampilkan pada gambar 10 di bawah ini. Efisiensi netto pembangkitan (net efficiency) yang dihasilkan pada A-PFBC ini sangat tinggi, dapat mencapai 46%.
gambar-10
Gambar 10. Prinsip kerja A-PFBC
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
ICFBC
Penampang boiler ICFBC ditampilkan pada gambar 11 di bawah ini.
gambar-11
Gambar 11. Penampang boiler ICFBC
(Sumber: Coal Note, 2001)
Seperti terlihat pada gambar, ruang pembakaran utama (primary combustion chamber) dan ruang pengambilan panas (heat recovery chamber) dipisahkan oleh dinding penghalang yang terpasang miring. Kemudian, karena pipa pemanas (heat exchange tube) tidak terpasang langsung pada ruang pembakaran utama, maka tidak ada kekhawatiran terhadap keausan pipa sehingga pasir silika digunakan sebagai pengganti batu kapur untuk media FBC. Batu kapur masih tetap digunakan sebagai bahan pereduksi SOx, hanya jumlahnya ditekan sesuai dengan keperluan saja.
Di bagian bawah ruang pembakaran utama terpasang windbox untuk mengalirkan angin ke boiler, dimana angin bervolume kecil dialirkan melalui bagian tengah untuk menciptakan lapisan bergerak (moving bed) yang lemah, dan angin bervolume besar dialirkan melewati kedua sisi windbox tersebut untuk menimbulkan lapisan bergerak yang kuat. Dengan demikian maka pada bagian tengah ruang pembakaran utama akan terbentuk lapisan bergerak yang turun secara perlahan, sedangkan pada kedua sisi ruang tersebut, media FBC akan terangkat kuat ke atas menuju ke bagian tengah ruang pembakaran utama dan kemudian turun perlahan – lahan, dan kemudian terangkat lagi oleh angin bervolume besar dari windbox. Proses ini akan menciptakan aliran berbentuk spiral (spiral flow) yang terjadi secara kontinyu pada ruang pembakaran utama. Mekanisme aliran spiral dari media FBC ini dapat menjaga suhu lapisan mengambang supaya seragam. Selain itu, karena aliran tersebut bergerak dengan sangat dinamis, maka pembuangan material yang tidak terbakar juga lebih mudah.
Kemudian, ketika media FBC yang terangkat kuat tersebut sampai di bagian atas dinding penghalang, sebagian akan berbalik menuju ke ruang pengambilan panas. Karena pada ruang pengambilan panas tersebut juga dialirkan angin dari bagian bawah, maka pada ruang tersebut akan terbentuk lapisan bergerak yang turun perlahan juga. Akibatnya, media FBC akan mengalir dari ruang pembakaran utama menuju ke ruang pengambilan panas kemudian kembali lagi ke ruang pembakaran utama, membentuk aliran sirkulasi (circulating flow) di antara kedua ruang tersebut. Menggunakan pipa pemanas yang terpasang pada ruang pengambilan panas, panas dari ruang pembakaran utama diambil melalui mekanisme aliran sirkulasi tadi.
Secara umum, perubahan volume angin yang dialirkan ke ruang pengambilan panas berbanding lurus dengan koefisien hantar panas secara keseluruhan. Dengan demikian maka hanya dengan mengatur volume angin tersebut, tingkat keterambilan panas serta suhu pada lapisan mengambang dapat dikontrol dengan baik, sehingga pengaturan beban dapat dilakukan dengan mudah pula.
Untuk lebih meningkatkan kinerja pembangkitan, proses pada ICFBC kemudian diberi tekanan dengan cara memasukkan unit ICFBC ke dalam wadah bertekanan (pressurized vessel), yang selanjutnya disebut dengan Pressurized ICFBC (PICFBC). Dengan mekanisme ini maka selain uap air, akan dihasilkan pula gas hasil pembakaran bertekanan tinggi yang dapat digunakan untuk memutar turbin gas sehingga pembangkitan secara kombinasi (combined cycle) dapat diwujudkan.
Pembangkitan Kombinasi Dengan Gasifikasi Batubara
Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi melalui pemanfaatan gas sintetis hasil proses gasifikasi seperti pada A-PFBC, selanjutnya mengarahkan teknologi pembangkitan untuk lebih mengintensifkan penggunaan teknologi gasifikasi batubara ke dalam sistem pembangkitan. Upaya ini akhirnya menghasilkan sistem pembangkitan yang disebut dengan Integrated Coal Gasification Combined Cycle (IGCC).
Karena tulisan ini hanya membahas perkembangan teknologi pembangkitan listrik, maka penjelasan tentang bagaimana proses gasifikasi batubara berlangsung tidak akan diterangkan disini.
IGCC
Garis besar diagram alir pembangkit listrik sistem IGCC ditampilkan pada gambar 12 di bawah ini.
gambar-12
Gambar 12. Tipikal IGCC
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Seperti terlihat pada gambar, pada sistem ini terdapat alat gasifikasi (gasifier) yang digunakan untuk menghasilkan gas, umumnya bertipe entrained flow. Yang tersedia di pasaran saat ini untuk tipe tersebut misalnya Chevron Texaco (lisensinya sekarang dimiliki GE Energy), E-Gas (lisensinya dulu dimiliki Dow, kemudian Destec, dan terakhir Conoco Phillips ), dan Shell. Prinsip kerja ketiga alat tersebut adalah sama, yaitu batubara dan oksigen berkadar tinggi dimasukkan kedalamnya kemudian dilakukan reaksi berupa oksidasi sebagian (partial oxidation) untuk menghasilkan gas sintetis (syngas), yang 85% lebih komposisinya terdiri dari H2 dan CO. Karena reaksi berlangsung pada suhu tinggi, abu pada batubara akan melebur dan membentuk slag dalam kondisi meleleh (glassy slag). Adapun panas yang ditimbulkan oleh proses gasifikasi dapat digunakan untuk menghasilkan uap bertekanan tinggi, yang selanjutnya dialirkan ke turbin uap.
Oksigen yang digunakan untuk proses gasifikasi dihasilkan dari fasilitas Air Separation Unit (ASU). Unit ini berfungsi untuk memisahkan oksigen dari udara melalui mekanisme cryogenic separation, menghasilkan oksigen berkadar sekitar 95%. Selain oksigen, pada ASU juga dihasilkan nitrogen yang digunakan sebagai media inert untuk feeding batubara ke gasifier, selain dapat pula digunakan untuk menurunkan suhu pada combustor sehingga emisi NOx dapat terkontrol.
Pada gas sintetis, selain H2 dan CO juga dihasilkan unsur lain yang tidak ramah lingkungan seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char. Oleh karena itu, gas harus diproses terlebih dulu untuk menghilangkan bagian tersebut sebelum dikirim ke turbin gas. Gas buang dari turbin gas kemudian mengalir ke Heat Recovery Steam Generator (HRSG) yang berfungsi mengubah panas dari gas tersebut menjadi uap air, yang selanjutnya dialirkan menuju turbin uap. Dengan mekanisme seperti ini, efisiensi netto pembangkitan yang dihasilkan juga jauh melebihi pembangkitan pada sistem biasa (PCC) yang saat ini mendominasi. Selain efisiensi pembangkitan, kelebihan lain IGCC adalah sangat rendahnya kadar emisi polutan yang dihasilkan, fleksibilitas bahan bakar yang dapat digunakan, penggunaan air yang 30-40% lebih rendah dibanding PLTU konvensional (PCC), tingkat penangkapan CO2 yang signifikan, slagyang dapat dimanfaatkan untuk material pekerjaan konstruksi, dan lain – lain.
Sebagai contoh adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda, berkapasitas 250MW. Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan performansi baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi pembuangan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air limbah ke lingkungan.
Di samping kelebihan tersebut, terdapat pula kelemahan pada sistem IGCC yang dikembangkan saat ini, misalnya, besarnya kapasitas pembangkitan yang ditentukan berdasarkan banyaknya unit dan model turbin gas yang akan digunakan. Contohnya untuk turbin gas GE Frame 7FA yang berkapasitas 275MW. Apabila IGCC akan dioperasikan dengan kapasitas pembangkitan 275MW, berarti cukup 1 unit yang dipasang. Bila 2 unit yang akan digunakan, berarti kapasitas pembangkitan menjadi 550MW, dan bila 3 unit maka akan menjadi 825MW. Kemudian bila kapasitas pembangkitan yang diinginkan adalah di bawah 200MW, maka model yang dipakai bukan lagi GE Frame 7FA, tapi GE 7FA yang berkapasitas 197MW. Demikian pula bila menghendaki kapasitas pembangkitan yang lebih kecil lagi, maka GE 6FA yang berkapasitas 85MW dapat digunakan.
Dengan kombinasi antara model dan banyaknya unit turbin gas yang akan digunakan ini, selain akan membatasi kapasitas pembangkitan pada IGCC, sebenarnya juga akan mempersempit rentang operasi. Misalnya ketika akan menurunkan beban pada saat operasi puncak, hal itu mesti dilakukan dengan menurunkan beban pada turbin gas. Penurunan beban turbin gas ini otomatis akan menurunkan efisiensi pembangkitan dan akibat yang kurang baik pada emisi polutan yang dihasilkan. Kelemahan lain yang perlu dicermati dari sistem IGCC saat ini adalah ongkos pembangkitan per kW dan operation &maintenance (O & M) yang lebih mahal, serta availability factor (AF) yang lebih rendah dibanding PCC.
Sejarah IGCC dimulai pada tahun 1970 ketika perusahaan STEAG dari Jerman Barat mengembangan IGCC berkapasitas 170MW. Jauh setelahnya, proyek demonstration plant IGCC bernama Cool Water diluncurkan di AS pada tahun 1984, yang mengoperasikan IGCC berkapasitas 120MW sampai dengan tahun 1989. Sampai tulisan ini dibuat, sebenarnya belum ada unit IGCC yang murni komersial. Penyebab utamanya adalah investasi pembangunannya yang besar, serta teknologi IGCC yang belum terbukti. Teknologi IGCC disini maksudnya adalah rangkaian proses dari keseluruhan bangunan (building block) yang membentuk sistem IGCC utuh. Hal ini perlu ditekankan karena teknologi dari masing – masing unit pada IGCC misalnya gasifier, HRSG, turbin gas, turbin uap, dan yang lainnya merupakan teknologi yang sudah terbukti. Selama perkembangan yang berlangsung sekitar 20 tahun lebih sejak proyek Cool Water, unit IGCC yang beroperasi secara komersial saat ini baik di AS maupun di Eropa pada awalnya berstatus demonstration plant. Contoh beberapa plant IGCC tersebut adalah
1. Tampa Electric Polk 250MW IGCC Power Station, terletak di Florida, AS. IGCC ini beroperasi sejak September 1996 dibawah proyek Tampa, menggunakan gasifier dari Chevron Texaco (sekarang GE Energy). Bahan bakar yang digunakan adalah batubara dan petroleum coke (petcoke). Masalah yang dihadapi adalah lebih rendahnya tingkat konversi karbon dibandingkan dengan nilai yang direncanakan. Pernah pula terjadi fauling padagas cooler.
2. Wabash River 260MW IGCC Power Station, terletak di Indiana, AS. Beroperasi sejak September 1995 dibawah proyek Wabash River, pembangkit ini menggunakan teknologi gasifikasi dari Global Energy (saat ini bagian dari Conoco Phillips). Sejak berakhirnya proyek dari Departemen Energi AS (DOE) pada tahun 2001, bahan bakar yang digunakan adalah petcoke 100%.
3. Nuon 250MW IGCC Power Station, terletak di Buggenum, Belanda. IGCC ini bermula dari proyek Demkolec yang dimulai pada bulan Januari 1994. Teknologi yang digunakan adalah dari Shell, yang bahan bakarnya adalah batubara dicampur dengan biomassa (sludge dan sampah kayu) untuk lebih mengurangi emisi CO2. Masalah yang pernah terjadi adalah kebocoran pipa gas cooler dan timbulnya fauling pada gas cooler ketika campuran sludge sekitar 4-5%.
4. Elcogas 300MW IGCC Power Station, terletak di Puertollano, Spanyol.  Pembangkit IGCC ini beroperasi sejak Juni 1996 dibawah proyek Puertollano, menggunakan teknologi gasifikasi dari Prenflow (saat ini bagian dari Shell). Bahan bakarnya berupa campuran petcoke dan batubara berkadar abu 40% dengan perbandingan 50:50. Di bawah program dari Uni Eropa, plant ini direncanakan sebagai tempat untuk proyek pengambilan CO2 (CO2 recovery) dan produksi H2.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya efisiensi pembangkitan yang tinggi, faktor ramah lingkungan, dan teknologi gasifikasi yang sudah terbukti, upaya untuk lebih mengurangi kelemahan IGCC sudah mulai dilakukan.
Selain dari segi biaya, dilakukan pula upaya untuk lebih meningkatkan efisiensi pembangkitan, yaitu dengan menambahkan sel bahan bakar (fuel cell) ke dalam sistem IGCC. Dengan demikian, akan terdapat 3 jenis kombinasi pembangkitan pada sistem yang baru ini yaitu turbin gas, turbin uap, dan fuel cell. Metode pembangkitan ini disebut dengan Integrated Coal Gasification Fuel Cell Combined Cycle (IGFC), yang diagram alirnya ditampilkan pada gambar 16 di bawah ini.
gambar-14
Gambar 14. Tipikal IGFC
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Pada sel bahan bakar, pembangkitan listrik dilakukan secara langsung melalui reaksi elektrokimia antara hidrogen dan oksigen sehingga tingkat kerugian energinya sedikit dan efisiensi pembangkitannya tinggi. Hidrogen tersebut dapat berasal dari gas alam, gas bio, atau gas hasil gasifikasi batubara. Berdasarkan material yang digunakan untuk elektrolitnya, sel bahan bakar terbagi 4 yaitu Phosphoric-Acid Fuel Cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel Cell(MCFC), Solid-Oxide Fuel Cell (SOFC), dan Proton-Exchange Membrane Fuel Cell (PEFC). Di bawah ini ditampilkan karakteristik dari keempat jenis sel bahan bakar tersebut.
Tabel 1. Karakteristik Sel Bahan Bakar
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
tabel-11
Dari tabel di atas terlihat bahwa sel bahan bakar yang sesuai untuk kombinasi pembangkitan dengan turbin gas adalah SOFC, karena reaksinya menghasilkan suhu yang sangat tinggi.
Dibandingkan dengan PCC, pembangkitan dengan metode IGFC ini secara teoretis mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 30%. Kelebihan lainnya adalah tingginya efisiensi pembangkitan yang dapat dicapai yaitu minimal 55%. Disamping kelebihan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum IGFC benar – benar dapat diaplikasikan secara komersial. Yang pertama adalah urgensi pematangan teknologi IGCC, karena IGFC pada dasarnya adalah pengembangan dari IGCC. Kemudian, perlunya pengembangan sel bahan bakar yang berefisiensi tinggi tapi murah, untuk mendukung biaya pembangkitan yang kompetitif ke depannya.
Penutup
Perkembangan teknologi pembakaran pada PLTU batubara telah disajikan di atas. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu teknologi yang berkembang tidak terlepas dari hal pokok yang disebut 3E, yaitu Engineering (sisi teknis), Economy (sisi ekonomis), dan Environment (sisi lingkungan). Pada tahap awal, faktor Economy mungkin menjadi pertimbangan utama untuk pembangunan fasilitas pembangkitan, diikuti Engineering, dan terakhir Environment. Namun seiring dengan upaya pengurangan polusi atau pencemaran lingkungan yang menyebabkan makin ketatnya baku mutu lingkungan, terlihat bahwa urutan 3E tersebut mulai berubah. Faktor Environment secara perlahan menempati urutan pertama dalam pertimbangan pengembangan teknologi, kemudianEngineering, dan terakhir justru Economy.
Mengambil contoh IGCC, adalah wajar bila tahap awal perkembangannya pasti memerlukan biaya yang besar. Namun seiring dengan menguatnya isu lingkungan dan matangnya teknologi tersebut, biaya itu akan menurun dan pada waktu tertentu akan kompetitif terhadap teknologi yang sudah ada. Sebaliknya, teknologi pembangkitan yang ada, misalnya PCC yang saat ini mendominasi, lambat laun akan semakin mahal untuk mengakomodasi standar mutu lingkungan yang semakin ketat, dan pada akhirnya justru malah akan membebani dari segi ekonomi. Di bawah ini ditampilkan perbandingan biaya pembangkitan antara IGCC dan PCC di AS selama kurun 20 tahun terakhir, dan prediksinya di masa depan.
gambar-15
Gambar 15. Perbandingan Biaya Pembangkitan per kW IGCC dan PCC di AS
(Sumber: JCOAL Journal, vol.3, Jan. 2006)
Dari grafik di atas terlihat bahwa selama 20 tahun terakhir, biaya pembangkitan untuk PCC meningkat sekitar 50%. Peningkatan tersebut diakibatkan oleh penambahan peralatan untuk mengurangi beban lingkungan, misalnya fasilitas desulfurisasi (FGD). Sebaliknya, biaya pembangkitan per kW pada IGCC justru semakin menurun, dan diharapkan pada tahun 2010, nilainya akan sama dengan pada PCC, yaitu sekitar $1200.
Referensi
1. Amick, Phil, Coal Gasification Flexibility for Fuels & Products, ConocoPhillips, 2005
2. Baardson, John A., Coal to Liquids: Shell Coal Gasification with Fischer-Tropsch Synthesis, Baardson Energy LLC, 2003.
3. Chhoa, Thomas, Shell Gasification Business in Action, Shell Gas & Power, 2005.
4. JCOAL, Coal Science Handbook, Japan Coal Energy Center, 2005.
5. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 2, Nov. 2005, Japan Coal Energy Center, 2005.
6. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 3, Jan. 2006, Japan Coal Energy Center, 2006.
7. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 4, Mar. 2006, Japan Coal Energy Center, 2006.
8. Material Presentasi, Idemitsu Kosan Co., Ltd, 2003.
9. Sekitan no Kiso Chishiki, Sekitan Shigen Kaihatsu Kabushiki Kaisha.
10. Shigen Enerugi- Chou Shigen Nenryou Bu, Ko-ru No-to 2001 Nen Ban, Shigen Sangyou Shinbunsha, 2001.
11. Sema, Tohru, Karyoku Hatsuden Souron, Denki Gakkai, 2002.
12. WCI, The Coal Resource, World Coal Institute, 2004.
Samarinda, 2006.

Sumber :
http://imambudiraharjo.wordpress.com/2009/03/06/teknologi-pembakaran-pada-pltu-batubara/