Jumat, 13 Januari 2012

SEBUAH RENUNGAN " MENAMBANG HABIS INDONESIA "


Saya sangat setuju dengan apa yang di ulas oleh Ibu Isyana Artharini dalam Blognya Newsroom . Saking setujunya dengan ulasan beliau hingga saya jadikan Kliping dalam blog Saya ini , Memang apa yang diulas beliau merupakan keprihatinan bagi bangsa Indonesia dimana saat ini Banyak Perusahaan maupun perorangan tak lagi memikirkan nasib orng banyak, yang ada hanyalah untuk kepentingan pribadi ataupun Golongan , kepentingan Partai ataupun organisasi, banyak kaum petani dan pemilik lahan yang miskin tak berdaya melawan tuntutan hukum yang memang sudah diatur dan dipermainkan , bahkan tak jarang masih dibantu dengan oknum pengacara yang memutar sisi hukum untuk kemenangan kliennya . Berikut ini adalah ulasan Ibu Isyana Artharini :

 Ribuan petani, nelayan, kelompok adat, dan kelompok masyarakat turun ke jalan-jalan di Jakarta, Kamis (12/1) kemarin. Mereka datang ke Istana Negara dan Gedung DPR menuntut agar pemerintah mengusut perampasan tanah serta berbagai konflik agraria lainnya. Bukan hanya di Ibu Kota, di Yogyakarta, Mataram, Makassar, Gorontalo, Semarang, dan Samarinda, Kalimantan Timur, kelompok masyarakat dari elemen-elemen serupa juga menuntut penyelesaian akan konflik-konflik tanah yang memakan korban jiwa di Indonesia.

Konflik-konflik tanah tersebut biasanya menghadapkan warga dengan perusahaan pertambangan atau perkebunan. Menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Andrie S Wijaya, Jumat (13/1) di Jakarta, sekitar 40 persen dari tanah yang terampas oleh perusahaan tambang adalah kebun/ladang/sawah yang menjadi sumber penghidupan warga yang berkonflik. 

Pertambangan bukan hanya merugikan petani, tapi juga nelayan. Ekstraksi pasir besi di wilayah pesisir Jawa dan Bengkulu menyulitkan nelayan mencari ikan. Akhir 2011 lalu, Jatam menemukan tren pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi target besar bagi pengerukan nikel dan pasir besi. Hasil kerukan tersebut tidak diolah sehingga memberi nilai tambah bagi masyarakat, tapi langsung diangkut mentah-mentah ke Cina. 

Pertambangan juga dilakukan di daerah-daerah yang merusak ekosistem tempat ikan mencari makan. Ditambah dengan ekstremitas cuaca yang makin sering terjadi (gelombang besar), nelayan pun harus makin jauh mencari ikan. Padahal mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli lebih banyak bahan bakar agar bisa melaut lebih jauh. 

Di 2012 ini, Andrie mengatakan, ada tren izin-izin baru pertambangan untuk emas dipicu oleh harga komoditas yang meski fluktuatif, tapi menggiurkan. Setidaknya sudah ada izin penggunaan kawasan 15 ribu hektar di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Gorontalo. Di Aceh, dari 2007 pasca-tsunami sampai sekarang, dari satu izin pertambangan, kini ada 141 izin pertambangan. Indonesia timur juga akan menjadi pusat pengerukan sumber daya tambang dan nikel.

Salah satu sebab utama terjadinya konflik lahan antara industri pertambangan dengan masyarakat lokal adalah warga selalu tidak pernah tahu akan ada aktivitas pertambangan yang masuk ke wilayah mereka. Pertambangan sebagai industri pun butuh banyak lahan, maka warga sering menerima harga yang tidak masuk akal untuk ganti rugi tanah mereka. Belum lagi adanya intimidasi-intimidasi yang dilakukan oleh calo tanah agar warga menyerahkan tanahnya. 

Setelah aktivitas pertambangan berjalan, warga akan diberdayakan menjadi buruh atau tenaga pengamanan di sekitar tambang. Padahal, menurut Andrie, warga sekitar tambang bukannya tidak berdaya secara ekonomi. 

"Seperti yang terjadi di Bima, warga sebenarnya sudah berdaya secara ekonomi dari segi pertanian, yaitu bawang. Begitu juga di Mandailing Natal. Jadi seolah ada stigma yang dilekatkan bahwa masyarakat sekitar pertambangan itu miskin sebelum ada tambang lalu mereka diberdayakan. Padahal tidak," kata Andrie. 

Kesenjangan ekonomi antara pekerja tambang dan warga lokal pun meningkat. Belum lagi biaya hidup yang ikut naik karena harga yang menyesuaikan dengan standar hidup pekerja tambang.

Konflik juga muncul ketika limbah pertambangan mencemari lingkungan tempat warga tinggal. Andrie mencontohkan, di Kerta Buana, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pencemaran oleh perusahaan pertambangan di sana masuk ke air yang digunakan untuk mengairi persawahan warga. Meski sudah berdemonstrasi, protes-protes warga tidak ditanggapi oleh pemerintah lokal. 

Keberpihakan pemerintah, baik lokal maupun pusat, yang terlalu kuat pada investor kerap menyebabkan protes-protes warga sekitar tak didengar. Warga pun bisa semakin 'kreatif' dalam mengajukan protes, seperti menghalangi akses ke kawasan tambang atau merusak alat pertambangan.

Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) memungkinkan terjadinya kriminalisasi pada warga yang dinilai akan membahayakan kawasan pertambangan. Tak heran jika semua elemen itu bercampur dan menyebabkan terjadinya konflik.

Konflik ini menjadi semakin rumit ketika kekuatan politik dan ekonomi di tingkat nasional, regional, bahkan lokal, mendukung industri pertambangan sehingga lokasi-lokasi tambang dianggap sebagai objek vital yang harus dilindungi. 

Di tingkat nasional, Jatam menyoroti keterlibatan para pengusaha dan perusahaan tambang yang menyumbang pada kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009 lalu. Sebesar Rp 24,5 miliar berasal dari perusahaan tambang minyak, gas, dan batubara. 

Izin-izin pertambangan atau memperbanyak produksi juga keluar sesudah peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan kepala daerah atau malah pemilihan presiden. Selain itu, sektor perbankan nasional juga menyokong operasional industri pertambangan di Indonesia. 

Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia menambahkan, "Sempurna sudah dukungan untuk industri pertambangan. Dengan dukungan politik dan finansial, otomatis mereka akan mendapat dukungan keamanan juga."

Direktur Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, solusi atas konflik-konflik tanah dan pertambangan yang terjadi di Indonesia sebenarnya mudah. Dari segi hierarki kekuasaan, bupati di bawah gubernur, gubernur di bawah menteri atau presiden. "Jika bupati tidak berani mencabut izin pertambangan yang bermasalah, gubernur bisa melakukannya, atau menteri atau presiden. Tapi tidak ada niat politik untuk mengatasi ini. Yang ada hanya perburuan rente." 

Andrie menambahkan, setidaknya aksi menuntut reformasi agraria pada 12 Januari 2012 lalu telah menghasilkan janji DPR untuk menghasilkan Pansus Agraria. "Pansus ini akan kami awasi kerjanya. Setidaknya ini jadi harapan baru," kata Andrie.

Sumber : Ibu Isyana Artharini dalam Blognya Newsroom Blog