Selasa, 06 September 2011

SANDUNGAN BATUBARA DI TAHUN 2011

India menembus peringkat kedua konsumen batubara Indonesia. Produksi bakal mencapai diatas 300 juta ton. Tren naik menghadapi banyak batu sandungan.


Direktur PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava nampak begitu semangat. Lewat pesan singkatnya yang dikirimkan ke Majalah TAMBANG, Minggu, 26 Desember 2010, pria yang baru terbebas dari rokok ini menyatakan prospek batubara bakal makin cerah di 2011. Indikator yang digunakannya ialah sentimen pasar China, setelah Bank Sentral di negara itu menaikkan tingkat suku bunga untuk yang keduakalinya. 

Tak ketinggalan ini mengutip statemen analis PT Bhakti Securities, Edwin Sebayang bahwa Bank Sentral China telah menaikkan suku bunga acuan untuk keduakalinya dalam waktu dua bulan, sebesar 25 basis poin menjadi 5,81%. Pada Sabtu, 25 Desember 2010, Pemerintah Negeri Panda juga telah menaikkan benchmark suku bunga deposito sebesar 25 basis, menjadi 2,75%. Hal ini merupakan langkah Beijing dalam memerangi inflasi yang cenderung terus naik.

Pasar pun merespon cepat kebijakan itu. Pada penutupan perdagangan Rabu, 24 Desember 2010, harga batubara Newcastle Port naik tajam +6,57% (USD 7,69 per MT) menjadi USD 124,75 per MT (Metrik Ton). Menurut Dileep, kondisi ini akan memberikan sentimen positif pada pergerakan emiten batubara. ”Untuk perdagangan Senin, 27 Desember 2010, Edwin Sebayang merekomendasikan buy (beli) untuk saham-saham ITMG, PTBA, ADRO, BUMI, HRUM, dan BORN,” ujar Dileep lagi. 

Meski ulasan Dileep itu terkesan hanya untuk mempercantik wajah BUMI, namun pihak lain yang ditemui Majalah TAMBANG berpendapat sama. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI – ICMA) Supriatna Suhala mengatakan, harga batubara 2011 cenderung akan naik. Situasi dan kondisi yang mendorong ke arah itu diantaranya demand (permintaan, red) yang masih strong (menguat, red) hingga akhir 2010, dan akan berlanjut pada 2011. 

Permintaan Domestik Meningkat 
Menurut Supriatna, trader yang berburu batubara di Indonesia, tidak hanya datang dari Asia. Sejumlah trader dari Eropa juga tak mau kalah. Ditambah lagi permintaan domestik (dalam negeri) juga akan terus meningkat. APBI memperkirakan, pada 2011 kebutuhan batubara domestik akan meningkat 12% menjadi 80 juta ton, dari sebelumnya sekitar 70 juta ton di 2010. ”Pasar domestik akan menyedot 25% dari total produksi batubara setiap tahunnya,” ujarnya saat ditemui pada Kamis, 2 Desember 2010. 

Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Setiawan. ”Peningkatan kebutuhan mineral dan batubara untuk pasar domestik, berpeluang menaikkan harga komoditi,” ulasnya dalam ”Seminar Outlook Energy and Mining 2011” di Jakarta, Kamis, 23 Desember 2010. Dari catatan kebutuhan konsumen, pemerintah menetapkan kebutuhan batubara domestik sebesar 78,97 juta ton di 2011. 

Supriatna pun yakin, ke depan kebutuhan domestik akan batubara bakal terus meningkat signifikan. Terlebih pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 tahun 2006 tentang Bauran Energi Mix Nasional 2025. Dalam Keppres itu disebutkan, peran batubara sebagai sumber energi nasional akan terus ditingkatkan. Kalau sekarang hanya 17,8%, maka 2025 akan menjadi 35%. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,5 – 7% pada 2011 – 2015, akan semakin memperbesar konsumsi batubara nasional. 

Seiring dengan itu, kondisi cuaca ekstrim yang berlangsung sepanjang Semester ke-2 2010, juga diprediksi bakal berlanjut. Curah hujan yang tinggi, akan membuat jadwal produksi perusahaan pertambangan batubara banyak yang terlambat. Perusahaan tambang pun harus mengeluarkan biaya lebih, diantaranya untuk mengeringkan pit dan memaksimalkan produksi di masa kering. ”Demand strong, produksi yang terhambat, dan biaya tambahan, bakal berpengaruh pada harga. Trennya akan naik,” tandas Supriatna. 

Menakar Pasar Global 
Selain permintaan domestik yang meningkat, pada 2011 pasar dunia tetap menjadi penyokong demand dan harga batubara. Situasi ekonomi di beberapa negara maju yang terus membaik, membuka peluang bagi demand batubara. Disamping itu, kata Supriatna, negara-negara berkembang dan Asia saat ini tidak punya banyak pilihan untuk sumber energi, selain batubara dan nuklir. 

Di Eropa dan Amerika Serikat mungkin bisa menggunakan gas, yang biayanya cukup murah karena disalurkan melalui pipa antar negara. Tetapi di negara-negara Asia, harus menggunakan infrastruktur yang mahal jika ingin mengimpor gas. Sehingga untuk negara-negara Asia dan Afrika, pilihan terbaiknya masih batubara. Saat ini saja importir terbesar batubara dunia adalah Asia. Yakni Jepang di peringkat pertama, disusul India yang telah menggeser posisi Korea Selatan (Korsel) di peringkat kedua. 

Perlu dicatat, tambahnya, setiap tahun India semakin lapar saja akan batubara, mencapai 30% dari keseluruhan konsumsi dunia. Kebutuhan negara itu sangat besar akan sumber energi pembangkit listrik, sementara di dalam negerinya sendiri defisit. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan, India akan menggeser posisi Jepang sebagai importir terbesar batubara. Menariknya, pilihan India adalah Indonesia, karena spesifikasi yang dibutuhkan sesuai. ”Sehingga saya yakin situasi global akan mendongkrak harga, meski tidak sehebat era 2007,” tandas Supriatna. 

Pendapat berbeda diungkapkan Senior Mining Analyst BNI Securities, Asti Pohan. Menurutnya, memang benar ada sejumlah faktor global yang bakal mempengaruhi pergerakan harga batubara di 2011. Pertama, rendahnya pasokan minyak dan gas alam di sejumlah negara, terutama negara maju. Kondisi ini membuat orang cenderung beralih ke batubara sebagai sumber energi alternatif, sehingga demand meningkat dan harga naik. 

Kedua, adanya bottlenecking (hambatan, red) dalam pasokan batubara, baik dari sisi infrastruktur maupun transportasi, sehingga harga cenderung menguat. Ketiga, proyeksi bahwa Dolar AS masih lemah di 2011, yang mendorong orang menjadikan komoditas sebagai sarana spekulasi, sehingga berpengaruh pada harga. ”Namun jangan salah, saat ini ada tiga hal yang sangat berpengaruh, dan berpotensi menekan demand serta harga komoditi,” ujarnya dalam Seminar ”Outlook Energy and Mining 2011”. 

Pertama, yang terkait dengan isu lingkungan, dimana banyak negara berlomba menggunakan energi yang ramah lingkungan. Untuk ini pilihannya tentu bukan pada batubara. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang masih melambat dan ketidakpastian ekonomi dunia, yang dapat membatasi permintaan terhadap komoditas. Ketiga, potensi membanjirnya suplai dunia, karena produsen batubara berspekulasi akan demand yang meningkat di 2011. 

Ketiga faktor tersebut, akan membuat pasokan batubara lebih tinggi dibandingkan permintaannya. Terlebih di AS dan Uni Eropa masih terjadi pelemahan ekonomi. Di China sendiri penggunaan batubara diprediksi tidak banyak bertambah. Situasi ini tentunya akan memperlambat permintaan akan batubara. ”Melambatnya permintaan dapat meningkatkan stockpile batubara dan menahan harga bergerak ke atas,” jelasnya. 

Asti pun memprediksi pada 2011 produksi batubara akan mencapai 7.778 Metrik Ton (MT). Sedangkan penggunaan hanya berada pada angka 7.584 MT. Harga akan bergerak fluktuatif mencapai USD 95/MT pada Kuartal I-2011, dan kembali turun menjadi USD 85/MT pada Kuartal II. Pada Kuartal III diprediksi akan ada kenaikan menjadi USD 90/MT, dan bergerak ke USD 92/MT pada Kuartal IV. Harga rata-rata batubara sepanjang 2011 akan berada di titik USD 90,5/MT dengan grafik ke bawah. 

Produksi Meningkat
Prediksi Asti soal batubara yang akan membanjiri pasar dunia, nampaknya tidak akan banyak meleset. Pasalnya, sejak kuartal terakhir 2010 kalangan produsen batubara utamanya di Tanah Air, hampir semuanya mencanangkan peningkatan produksi untuk 2011. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI – ICMA) Supriatna Suhala memprediksi, produksi batubara Indonesia akan berada di kisaran 300 juta ton pada 2011, dan bukan tidak mungkin dapat menembus 340 juta ton. 

Hal senada diungkapkan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Setiawan. Ia mengatakan, permintaan dari dua negara yakni China dan India, merupakan kunci peningkatan produksi mineral dan batubara Indonesia. Namun untuk angka produksi 2011, pemerintah menargetkan lebih rendah ketimbang prediksi APBI, yakni 327 juta ton. Sedangkan untuk ekspor batubara 2011 ditargetkan mencapai 248 juta ton, dan 79 juta ton untuk penjualan domestik. 

Meski demikian, Supriatna mengingatkan agar produsen batubara memperhitungkan cuaca ekstrim yang kemungkinan masih berlanjut hingga 2011. Pada Semester II-2010, curah hujan yang tinggi dan cenderung abnormal, sangat menghambat aktivitas produksi batubara. Keuntungan perusahaan tambang batubara pun terjun bebas menjelang penutupan tahun. Bukan tidak mungkin kalangan produsen akan me-review kembali berbagai rencana ekspansi yang telah ditetapkan. 

”Harus ada siasat untuk menghadapi situasi yang tidak menguntungkan itu,” ujarnya. Beberapa antisipasi yang harus dilakukan adalah pertama, menyusun jadwal produksi secara ketat. Perusahaan tambang harus dapat memaksimalkan waktu disaat kering, untuk mengganti kehilangan waktu selama turun hujan dan pit tergenang. Kedua, peralatan seperti pompa untuk dewatering, harus ditambah. Demikian pula dengan alat-alat berat yang digunakan, untuk memaksimalkan kerja disaat kering. 

Batu Sandungan Produksi
Sebenarnya, kata Supriatna, dengan sumber daya yang ada sekarang, Indonesia mampu meningkatkan produksinya hingga 600 juta ton per tahun. Sumber daya manusia yang melimpah, juga menjadi modal yang sangat potensial bagi pengembangan industri batubara nasional. Namun sayangnya, ada sejumlah persoalan yang masih menjadi ”batu sandungan” (kendala), dalam peningkatan kinerja industri pertambangan batubara di Indonesia. 

Batu sandungan yang pertama adalah ketidakharmonisan antara peraturan perundangan-undangan yang terkait. Sedikitnya ada enam regulasi, yang mengatur kegiatan usaha pertambangan, dan basis sektoralnya berbeda. Yaitu Undang-Undang (UU) No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, UU No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Antara keempat UU ini dalam pelaksanaannya sering bertabrakan. 

Di lingkup Kementerian ESDM, juga ada dua Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur tentang bisnis batubara. Pertama Permen ESDM No.17 Tahun 2010 tentang Harga Patokan Mineral dan Batubara Indonesia. Kedua Permen ESDM No.34 Tahun 2010 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri, yang lebih dikenal dengan Permen DMO (Domestic Market Obligation). Dua Permen ini pun belum bisa dioperasionalkan secara utuh. 

Akibat dari disharmonisasi ini, perizinan dalam kegiatan usaha pertambangan batubara menjadi terhambat dan sangat lambat. Untuk mendapatkan izan pinjam pakai kawasan hutan dan izin lingkungan, harus memakan waktu bertahun-tahun dengan biaya tidak sedikit. Pengaturan tata ruang yang belum jelas, juga membuat tumpang tindih lahan antara pertambangan dan kehutanan, perkebunan, pemukiman dan sektor-sektor lain. Termsuk tumpang tindih perizinan di atas satu lahan yang sama. Kondisi ini cukup menghambat pembukaan tambang-tambang baru. Akibatnya, ekspansi produksi terhambat dan aliran investasi ke sektor pertambangan pun tersendat. 

Batu sandungan kedua, ialah adanya operasi perusahaan tambang batubara yang belum menerapkan kaidah Good Mining Practice dan Good Corporate Governance. Beberapa perusahaan tambang batubara juga masih beroperasi di kawasan hijau. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya law enforcement (penegakan hukum), terutama oleh pemerintah daerah (pemda). Kondisi ini telah menimbulkan opini di masyarakat bahwa pertambangan hádala kegiatan yang merusak lingkungan. Hubungan sosial dengan masyarakat anti tambang pun semakin terganggu. 

Batu sandungan keempat, adalah masih terbatasnya infrastruktur. Sumber daya batubara Indonesia yang mencapai 104,94 miliar ton, hingga saat ini masih terbatas yang dikembangkan, dan hanya di daerah-daerah tertentu saja. Tambang yang sudah existing pun untuk transportasi harus menghabiskan waktu lama dan biaya tidak sedikit. Dalam catatan Majalah TAMBANG, di Kalimantan Tengah (Kalteng) tersimpan deposit batubara kalori tinggi, yang sangat dicari oleh pasar ekspor. Namun kekayaan alam itu belum banyak dimanfaatkan akibat lokasinya yang jauh dari laut (pelabuhan), dan transportasi darat yang tidak memadai. 

Reformasi Birokrasi 
Untuk mengatasi berbagai batu sandungan tersebut, APBI pun merekomendasikan sejumlah perbaikan. Pertama, mutlak diperlukan birokrasi sistem perizinan yang transparan dan efisien. Kedua, harus sesegera mungkin dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Ketiga, harus ada langkah-langkah penambahan infrastruktur pendukung seperti jalan kereta api, pelabuhan, kanal, coal terminal, dan sebagainya. Keempat, digalakkannya pengembangan teknologi batubara bersih (CCT/CCS) dari teknologi upgrading batubara kalori rendah. Kelima, dibutuhkan aparatur pengawasan yang berkualitas untuk penguatan law enforcement. 

Disamping itu, pemerintah perlu membentuk lembaga khusus untuk penyelesaian tumpang tindih perizinan dan tumpang tindih lahan. Agar pelaksanaan DMO tidak mengalami hambatan, diperlukan lembaga ”Buffer Stock” untuk batubara. Pemerintah juga harus memberikan insentif untuk pengembangan dan pemanfaatan teknologi batubara bersih (CCT/Clean Coal Techonology) serta peningkatan kualitas batubara peringkat rendah. 

Saat ini, lanjutnya, yang paling mendesak ialah dilakukannya reformasi birokrasi yang berkelanjutan, untuk percepatan pelayanan perizinan. ”Dibuat saja sistem Pelayanan Satu Pintu untuk Perizinan Pengusahaan semua sumber daya alam. Baik perizinan tambang, 
kehutanan, dan sumber daya lainnya mendatangi satu instansi yang sama. Sehingga koordinasi antar sektoral berjalam harmonis,” urai Supriatna saat berbicara dalam Seminar ”Outlook Energy and Mining 2011” di Jakarta, Kamis, 23 Desember 2010. 

Dirjen Minerba, Bambang Setiawan mengatakan, kepastian dan transparansi dalam kegiatan pertambangan, merupakan salah satu bagian dari arah kebijakan strategis di 2011. Untuk itu, pihaknya akan segera melakukan sinkronisasi lebih lanjut semua legislasi lintas sektoral (pertambangan, kehutanan, lingkungan, dan tata ruang). Diikuti kemudian dengan peningkatan pembinaan serta pengawasan terhadap semua aktivitas pertambangan. Untuk infrastruktur, saat ini pemerintah bersama perusahaan BUMN dan pihak swasta, telah memulai pembangunan jalur kereta api di Kalimantan dan Sumatera.


Oleh : Abraham Lagaligo
http ://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=4&newsnr=3444

Tidak ada komentar: