Minggu, 02 Desember 2012

2014, Realisasi Hilirisasi Tambang 70% (Kemenpen Perindustrian)


JAKARTA - Pemerintah menargetkan 70% rencana investasi pabrik pemurnian tambang mineral (smelter) bisa terealisasi pada 2014, bersamaan dengan pemberlakuan larangan ekspor komoditas tersebut.

Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat menegaskan, pihaknya akan memaksa seluruh pelaku industri tambang untuk menjalankan hilirisasi di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah produknya. Karena itu, investasi dan peflibangunan smelter harus terus didorong.

"Program hilirisasi itu harus dipaksakan kepada seluruh industri untuk meningkatkan nilai tambah produk. Memang, jumlahnya ditargetkan belum bisa 100% pada dua tahun mendatang," kata Hidayat di Jakarta, baru-baru ini.

Dia mengakui, adanya keberatan sejumlah pihak, terutama pelaku pertambangan mineral, atas program yang dicanangkan pemerintah tersebut. Namun, UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) telah mengamanahkan, semua hasil tambang mineral mentah dilarang diekspor dan harus diolah di dalam negeri pada 2014.

Program tersebut pun diyakini memacu aliran investasi dalam jumlah besar pada industri hilir mineral di Indonesia. Saat ini, sudah ada sekitar 153 investor tertarik untuk investasi smelter tambang mineral di Indonesia, yang berasal dari Tiongkok, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan.

Potensi Investasi
Indonesia berpotensi meraup investasi baru minimal sebesar US$ 10,8 miliar dari hilirisasi industri hasil tambang mineral, yakni bauksit, tembaga, nikel, serta bijih besi (iron ore) dan pasir besi (iron sand). Investasi itu bisa didapatkan karena bea keluar (BK) 20% atas hasil tambang mineral mulai diberlakukan tahun ini sampai pelarangan ekspor secara penuh komoditas tambang mentah tersebut pada 2014.

Produksi bauksit nasional saat ini mencapai 15 juta metrik ton per tahun dan seluruhnya masih diekspor dalam bentuk bauksit. Dengan kbijakan wajib verifikasi ekspor barang mineral dan pelarangan ekspor bauksit pada 2014, industri pengolahan (smelter) bauksit menjadi alumina di dalam negeri akan tumbuh pesat.

Dengan asumsi minimal kapasitas pabrik pengolahannya mencapai 7 juta ton per tahun, investasinya di-perkirakan US$ 8,4 miliar. "Kebutuhan alumina untuk PT hialum sebesar 500 ribu ton per tahun juga bisa dipenuhi dari dalam negeri," tutur Hidayat.

Sementara itu, produksi tembaga (copper) nasional saat ini mencapai 2,8 juta metrjk ton konsentrat per tahun. Sekitar 1,7 juta metrik ton di antaranya masih diekspor, atau baru 30% yang diolah di dalam negeri. Jika ekspor dilarang, industri perigolahan' copper concentrate menjadi copper cathde di dalam negeri bisa dibangun dengan kapasitas 425 ribu ton per tahun. Nilai investasi pabrik pengolahannya mencapai US$ 1,4 miliar.

"Belum lagi, hal tersebut juga akan meningkatkan daya saing industri hilir turunannya, seperti kabel dan komponen elektronik lainnya karena akan mudah mencari bahan baku," katanya.

Hal serupa pun diproyeksikan pada hasil tambang iron ore dan iron sand. Jika ekspor bijih besi dan pasir besi dilarang, industri pengolahan sponge/ pig iron berkapasitas 5 juta ton per tahun akan berkembang, dengan investasi setidaknya US$ 1 miliar.

Indonesia saat ini juga memproduksi bijih nikel (nickel ore) 3,27 juta ton per tahun, yang seluruhnya masih diekspor. Pelarangan ekspor nickel ore pun diharapkan dapat memacu industri smelter untuk hasil tambang tersebut, yang juga berarti akan mendatangkan investasi baru.

Dukungan Pemerintah
Sementara itu, pemerintah sedang menyiapkan sejumlah infrastruktur untuk mendukung program pembangunan smelter, terutama untuk mendukung ketersediaan dan pasokan energinya. Kebijakan skema lain juga bisa diterapkan. Misalnya, pemerintah akan meminta investor membangun pembangkit listrik (power plant) sendiri uiiluk mendukung operasional smelternya.

Selanjutnya, pemerintah akan memberikan insentif fiskal bagi investor yang mau membangun industri smelter dan infrastrukturnya, termasuk pemangkit listrik. Menperin mengaku sedang berunding dengan Menkeu Agus Martowardojo untuk pemberian insentif bagi investor yang mau membangun smelter dengan dilengkapi pembangkit listrik.

"Kalau ingin membangun sendiri perlu diberikan jaminan bahwa produksi listriknya juga dipasok ke PT PLN (Persero), selain untuk mengoperasikan smelter," kata Hidayat.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi pernah menyampaikan keraguannya bahwa target implementasi pelarangan ekspor seperti diatur UU Minerba bisa dicapai 100%. Pasalnya, investor membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk membangun smelteragar dihasilkan produk tambang bernilai tambah.

Karena itu, pemerintah diminta berbicara lagi dengah eksportif dan pelaku usaha pertambangan untuk membahas opsi lain, sambil menunggu tercapainya penghentian ekspor secara penuh. "BK juga perlu diberlakukan lebih dulu meskipun memang tidak terlalu efektif," kata Sofjan.
sumber : Investor Daily

Kamis, 15 Maret 2012

Persyaratan Produk Dalam Transaksi



Dalam perdagangan komoditas batubara, faktor terpenting yang mengikat transaksi antara pembeli dan penjual adalah kualitas batubara, dimana spesifikasi yang disyaratkan oleh pembeli yang harus dipenuhi oleh penjual selalu tertulis dalam kontrak kesepakatan pembelian. Di bawah ini ditampilkan contoh persyaratan produk yang tercantum di dalam kontrak pembelian batubara yang akan dikirimkan ke pembeli tertentu.
01-PA-spec
Gambar 1. Spesifikasi Batubara di Kontrak Pembelian
Kolom paling kanan dari gambar 1 di atas adalah satuan dari kualitas – kualitas yang akan dinilai, yang besarnya tidak ditentukan secara pasti di angka tertentu. Mengapa demikian? Karena sebagaimana jamak dipahami, kualitas batubara tidaklah seragam di dalam satu lapangan penggalian, bahkan di dalam lapisan yang sama sekalipun. Kondisi ini tidak  lain disebabkan oleh karakteristik yang khas dari proses pembentukan batubara itu sendiri .
Oleh karena itu, penjual biasanya akan melakukan pencampuran batubara (blending) dari beberapa lokasi atau lapisan yang memiliki kualitas berbeda – beda sehingga didapat angka rata – rata yang dikehendaki. Meskipun demikian, kemungkinan timbulnya fluktuasi kualitas dari batubara yang terkirim ke konsumen tetaplah ada, baik berupa over spec maupun under spec. Sehingga untuk mengakomodasi hal ini, maka biasanya terdapat klausul berupa bonus dan penalti di dalam kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak. Berikut ini adalah salah satu contoh ketentuan tersebut.
02-PA-penalti
Gambar 2. Ketentuan Penalti dan Bonus
Kemudian kalau kita perhatikan, kecuali Hardgrove Grindability Index (HGI) dan ukuran, seluruh parameter kualitas dinilai berdasarkan standar tertentu, misalnya AR atau ADB. Basis penilaian ini begitu penting karena menyangkut penyamaan persepsi antara pembeli dan penjual terhadap produk batubara yang akan diperdagangkan.
Basis Penilaian Kualitas
Untuk mempermudah penjelasan, di bawah ini ditampilkan hubungan antara basis analisis dikaitkan dengan keberadaan parameter yang menjadi dasar perhitungannya.
03-Basis analisis
Gambar 3. Basis Analisis Batubara
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Dari gambar di atas, terlihat ada 5 jenis basis untuk analisis batubara yang dapat diterapkan, yaitu ARB, ADB, DB, DAF, dan DMMF.
1. ARB (As Received Basis)
Sebagaimana arti harfiahnya, obyek analisis ini adalah batubara yang diterima oleh pembeli seperti apa adanya. Dengan demikian, analisis pada basis ini juga mengikutsertakan air yang menempel pada batubara yang diakibatkan oleh hujan, proses pencucian batubara (coal washing), atau penyemprotan (spraying) ketika di stock pile maupun saat loading. Air yang menempel di batubara karena adanya perlakuan eksternal ini dikenal sebagai Free Moisture (FM).
Yang dimaksud penerimaan oleh pembeli (as received) disini bukan selalu berarti penerimaan batubara di stock pile pembeli, tapi disesuaikan dengan kontrak pembelian. Untuk kontrak FOB (Free on Board) misalnya, maka penilaian kualitas pada basis ARB adalah pada saat berpindahnya hak kepemilikan batubara di kapal atau tongkang. Pada kondisi ini, terkadang ARB juga disebut dengan as loaded basis.
2. ADB (Air Dried Basis)
Pada kondisi ini, Free Moisture (FM) tidak diikutkan dalam analisis batubara. Secara teknisnya, uji dan analisis dilakukan dengan menggunakan sampel uji yang telah dikeringkan pada udara terbuka, yaitu sampel ditebar tipis pada suhu ruangan, sehingga terjadi kesetimbangan dengan lingkungan ruangan laboratorium, sebelum akhirnya diuji dan dianalisis.
Nilai analisis pada basis ini sebenarnya mengalami beberapa fluktuasi sesuai dengan kelembaban ruangan laboratorium, yang dipengaruhi oleh musim dan faktor cuaca lainnya. Akan tetapi bila dilihat secara jangka panjang dalam waktu satu tahun misalnya, maka kestabilan nilai tertentu akan didapat. Disamping itu, basis uji & analisis ini sangat praktis karena perlakuan pra pengujian terhadap sampel adalah pengeringan alami sesuai suhu ruangan sehingga tidaklah mengherankan bila standar ADB ini banyak dipakai di seluruh dunia.
3. DB (Dried Basis)
Tampilan dry basis menunjukkan bahwa hasil uji dan analisis dengan menggunakan sampel uji yang telah dikeringkan di udara terbuka seperti di atas, lalu dikonversikan perhitungannya untuk memenuhi kondisi kering.
4. DAF (Dried Ash Free)
Dry & ash free basis merupakan suatu kondisi asumsi dimana batubara sama sekali tidak mengandung air maupun abu. Adanya tampilan dry & ash free basis menunjukkan bahwa hasil analisis dan uji terhadap sampel yang telah dikeringkan di udara terbuka seperti di atas, lalu dikonversikan perhitungannya sehingga memenuhi kondisi tanpa abu dan tanpa air.
5. DMMF (Dried Mineral Matter Free)
Basis DMMF dapat diartikan pula sebagai pure coal basis, yang berarti batubara diasumsikan dalam keadaan murni dan tidak mengandung air, abu, serta zat mineral lainnya.
Untuk konversi perhitungan ke basis ini, maka besarnya zat – zat mineral harus diketahui terlebih dulu. Dalam hal ini, perhitungan yang paling banyak digunakan adalah persamaan parr, seperti ditunjukkan di bawah ini.
M = 1.08A + 0.55S ………. (1)
Dimana
M: Mineral matters (%); A: Ash (%); S: Sulfur (%).
Akan tetapi persamaan ini tidak dapat diterapkan untuk perhitungan yang teliti dari setiap jenis batubara.
Dalam transaksi komoditas batubara, persyaratan kualitas yang umumnya tercantum dalam kontrak pembelian adalah hasil analisis proksimat, yaitu TM, IM, Ash, VM, FC, kemudian ditambah dengan kalori serta sulfur. Karena basis DMMF tidak pernah digunakan untuk uji dan analisis parameter – parameter tadi, maka konversi – konversi nilai kualitas yang muncul di tulisan ini selanjutnya akan dibatasi hanya pada 4 basis saja, yaitu ARB, ADB, DB, dan DAF.
Konversi Hasil Analisis Batubara
Berikut ini disajikan hasil analisis terhadap salah satu sampel batubara yang berasal dari daerah Embalut, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Tabel 1. Data analisis batubara
05-Data asli
Menggunakan data di atas, kita akan mencoba mengkonversinya ke dalam basis – basis analisis yang lain berdasarkan perhitungan di bawah ini.
Tabel 2. Formula konversi analisis batubara
(Sumber: Coal Convertion Facts, WCI, 2004)
04-Formula konversi*Untuk DAF, kalikan DB dengan [100 / (100 – A%)]. A dalam ADB.
Berdasarkan perhitungan konversi di atas, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Konversi Hasil Analisis Batubara
06-Hasil konversi
*Angka berhuruf tebal adalah data asli.
Untuk kalori akan dibahas lebih lanjut di bawah ini, karena parameter ini sangat vital dalam transaksi batubara.
Kalori Dalam Transaksi Batubara
Dalam kontrak pembelian batubara, persyaratan kalori oleh sebagian besar konsumen Jepang selama ini adalah GCV (Gross Calorific Value) dalam basis ADB. Akan tetapi, belakangan ini sebagiannya mulai berubah ke GCV dalam basis ARB. Dan sebenarnya di Eropa Barat, kontrak berbasis ARB untuk GCV ini sudah menjadi mayoritas dalam transaksi batubara saat ini. Bahkan dalam perkembangannya, beberapa konsumen juga mulai beralih ke persyaratan kalori dalam NCV (Net Calorific Value) berbasis ARB.
Perbedaan antara basis ADB dan ARB sudah dijelaskan di atas. Adapun apa yang dimaksud dengan GCV dan NCV akan diterangkan di bawah ini.
Pada saat pembakaran batubara di boiler, air yang menempel di batubara (dalam hal ini TM) serta air yang terbentuk dari persenyawaan hidrogen yang terkandung di dalam batubara dan oksigen, akan berubah menjadi uap air setelah melalui proses pemanasan dan penguapan. Karena tidak memberi nilai tambah apa pun dalam konversi ke energi yang dapat dimanfaatkan selain untuk menguapkan air dalam batubara saja, maka kalor yang digunakan untuk proses tadi disebut kalor laten. Jika kalor laten ini diikutsertakan dalam analisis, maka kalori dalam batubara yang bersangkutan disebut dengan GCV atauHHV (Higher Heating Value). Dan jika faktor kalor laten ditiadakan, maka disebut dengan NCV atau LHV (Lower Heating Value). Hubungan antara GCV dan NCV ditunjukkan oleh persamaan (dalam standar JIS)  di bawah ini:
NCV (kcal/kg) = GCV (kcal/kg) – 6 (9 H + W) ………. (2)
Dimana, H = kadar hidrogen (%) … analisis ultimat.
W = kadar air (%) … analisis proksimat.
Basis analisis untuk kalori, hidrogen, dan kadar air harus sama.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tampilan besaran kalori dalam NCV menunjukkan kalor atau energi panas efektif yang terkandung dalam batubara yang digunakan untuk konversi energi yang bermanfaat. Kemudian dari persamaan di atas terlihat pula bahwa bila kandungan hidrogen dan kadar air dalam batubara sedikit, maka selisih NCV dan GCV tidaklah terlalu signifikan. Perbedaan yang besar antara kedua tampilan tadi akan muncul pada batubara muda yang masih memiliki kadar air dan hidrogen yang banyak.
Dari paparan di atas maka persyaratan kalori dalam transaksi batubara dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. GAD (Gross CV; ADB)
Untuk kondisi ini, tampilan kalori cenderung tidak menunjukkan besaran kalor secara tepat yang akan digunakan dalam pemanfaatan batubara, karena Free Moisture tidak termasuk di dalamnya.
2. GAR (Gross CV; ARB)
Karena analisis untuk kalori pada kondisi ini memasukkan faktor kadar air total, maka kondisi ini menunjukkan batubara dalam keadaan siap digunakan. Akan tetapi, tampilan kalori masih belum menunjukkan kalor yang efektif untuk dimanfaatkan dalam konversi energi yang bermanfaat.
3. NAR (Net CV; ARB)
Kondisi inilah yang benar – benar menampilkan energi panas efektif dalam pemanfaatan batubara.
Secara ringkasnya, transaksi komoditas batubara (uap) sebenarnya sama saja dengan “membeli kalor (efektif)”. Sehingga dapat dipahami bahwa munculnya prasyarat NAR merupakan sesuatu yang logis. Untuk mendapatkan nilai GCV dalam NAR ini, perlu dilakukan perhitungan dengan rumus seperti di bawah
NAR (kcal/kg) = GAR (kcal/kg) – 50.7H – 5.83TM ………. (3)
Beberapa hal yang perlu di perhatikan dari persamaan di atas adalah:
- NAR adalah NCV dalam ARB.
- GAR adalah GCV dalam ARB. Karena biasanya dalam ADB, maka harus dikonversi ke ARB.
- H (kadar hidrogen) biasanya dalam DB atau DAF sehingga harus dikonversi ke ARB.
Menggunakan formula dari tabel 2 dan persamaan (3) diatas, kita akan mencoba mengkonversi GCV dari sampel batubara dalam tabel 1 ke NCV berbasis ARB. Karena pada sampel tersebut tidak dilakukan analisis untuk unsur H (hidrogen), maka besaran angka yang akan digunakan disesuaikan dengan tipikal nilai H untuk batubara di daerah tersebut, dalam hal ini sekitar 5.4 (DAF).
Untuk konversi kalori dari GCV (ADB) ke GCV (ARB), maka berdasarkan tabel 3, nilai GCV (ARB) = 5,514 kcal/kg.
Sedangkan perhitungan dari H (DAF) ke H (ARB), maka berdasarkan formula pada tabel 2, nilai H (ARB) = 4.18%.
Bila angka – angka tersebut dimasukkan ke persaman (3), maka NCV (ARB) = 5,191 kcal/kg.
Dengan demikian, maka:
Gross ADB (GAD) = 5,766 kcal/kg;
Gross ARB (GAR) = 5,514 kcal/kg;
Net ARB (NAR)   = 5,191 kcal/kg.
Yang harus diperhatikan adalah bahwa meskipun terdapat 3 nilai yang berbeda untuk kalori, tapi semuanya merujuk ke batubara yang sama. Adapun angka mana yang akan digunakan dalam kontrak pembelian, tergantung dari kesepakatan pembeli dan penjual. Contoh konkret dalam hal ini adalah sebagai berikut.
Bila indeks harga untuk batubara berkalori 6,000 kcal/kg (GCV; ADB) adalah $35.00/t FOBT misalnya, maka harga batubara di kontrak pembelian dalam Gross ADB berdasarkan calorie parity adalah 5,766/6,000 X $35.00/t = $33.64/t.
Berikutnya bila kesepakatan kontrak pembelian adalah dalam Net ARB. Bila index untuk batubara berkalori 6,000 kcal/kg tadi dalam Net ARB adalah 5,500 kcal/kg, maka harga batubara akan menjadi 5,191/5,500 X $35.00/t = $ 33.03/t. (Dalam hal ini, harga index tidak tergantung dari basis analisis).
Penutup
Sama seperti perdagangan secara umum, transaksi komoditas batubara merupakan kesepakatan yang saling menguntungkan bagi pihak pembeli maupun penjual. Oleh karena itu, spesifikasi produk harus benar – benar dipahami dengan baik agar tidak timbul perselisihan di kemudian hari. Penulis berharap semoga tulisan ringkas ini dapat dijadikan masukan yang berarti bagi pihak – pihak yang terkait dengan usaha di bidang batubara.
Referensi:
1.  Bahan Pelajaran Pelatihan Umum Teknik Pertambangan Batubara: Preparasi Batubara – Kontrol Kualitas, NEDO, 2003.
2. Coal Conversion Facts, World Coal Institute, 2004. (http://www.wci-coal.com/)
3. Nippon shijou de youkyuu sareru ippan tan no hinshitsu, Coal Research Laboratory, Idemitsu Kosan Co., Ltd, tanpa tahun.
4. Sekitan no kiso chishiki, Sekitan Shigen Kaihatsu Co., Ltd, tanpa tahun.

Teknologi Pembakaran Pada PLTU Batubara


Pendahuluan
Klasifikasi kualitas batubara secara umum terbagi 2, yaitu pembagian secara ilmiah dalam hal ini berdasarkan tingkat pembatubaraaan, dan pembagian berdasarkan tujuan penggunaannya. Berdasarkan urutan pembatubaraannya, batubara terbagi menjadi batubara muda (brown coal atau lignite), sub bituminus, bituminus, dan antrasit. Sedangkan berdasarkan tujuan penggunaannya, batubara terbagi menjadi batubara uap (steam coal), batubara kokas (coking coal atau metallurgical coal), dan antrasit.
Batubara uap merupakan batubara yang skala penggunaannya paling luas. Berdasarkan metodenya, pemanfataan batubara uap terdiri dari pemanfaatan secara langsung yaitu batubara yang telah memenuhi spesifikasi tertentu langsung digunakan setelah melalui proses peremukan (crushing/milling) terlebih dulu seperti pada PLTU batubara, kemudian pemanfaatan dengan memproses terlebih dulu untuk memudahkan penanganan (handling) seperti CWM (Coal Water Slurry), COM (Coal Oil Mixture), dan CCS (Coal Cartridge System), dan selanjutnya pemanfataan melalui proses konversi seperti gasifikasi dan pencairan batubara
Pada PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara uap yang terdiri dari kelas sub bituminus dan bituminus. Lignit juga mulai mendapat tempat sebagai bahan bakar pada PLTU belakangan ini, seiring dengan perkembangan teknologi pembangkitan yang mampu mengakomodasi batubara berkualitas rendah.

Gambar 1. Skema pembangkitan listrik pada PLTU batubara
(Sumber: The Coal Resource, 2004)
Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang digunakan untuk mengubah air dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut menjadi uap, yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin dan memutar generator. Kinerja pembangkitan listrik pada PLTU sangat ditentukan oleh efisiensi panas pada proses pembakaran batubara tersebut, karena selain berpengaruh pada efisiensi pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya pembangkitan. Kemudian dari segi lingkungan, diketahui bahwa jumlah emisi CO2 per satuan kalori dari batubara adalah yang terbanyak bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, dengan perbandingan untuk batubara, minyak, dan gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan uji coba yang mendapatkan hasil bahwa kenaikan efisiensi panas sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 2,5%, maka efisiensi panas yang meningkat akan dapat mengurangi beban lingkungan secara signifikan akibat pembakaran batubara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teknologi pembakaran (combustion technology) merupakan tema utama pada upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan batubara secara langsung sekaligus upaya antisipasi isu lingkungan ke depannya.
Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu pembakaran lapisan tetap (fixed bed combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized coal combustion /PCC), dan pembakaran lapisan mengambang (fluidized bed combustion / FBC). Gambar 3 di bawah ini menampilkan jenis – jenis boiler yang digunakan untuk masing – masing metode pembakaran.


Gambar 2. Tipikal boiler berdasarkan metode pembakaran
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pembakaran Lapisan Tetap
Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses pembakarannya. Sebagai bahan bakarnya adalah batubara dengan kadar abu yang tidak terlalu rendah dan berukuran maksimum sekitar 30mm. Selain itu, karena adanya pembatasan sebaran ukuran butiran batubara yang digunakan, maka perlu dilakukan pengurangan jumlah fine coal yang ikut tercampur ke dalam batubara tersebut. Alasan tidak digunakannya batubara dengan kadar abu yang terlalu rendah adalah karena pada metode pembakaran ini, batubara dibakar di atas lapisan abu tebal yang terbentuk di atas kisi api (traveling fire grate) padastoker boiler. Bila kadar abunya sangat sedikit, lapisan abu tidak akan terbentuk di atas kisi tersebut sehingga pembakaran akan langsung terjadi pada kisi, yang dapat menyebabkan kerusakan yang parah pada bagian tersebut. Oleh karena itu, kadar abu batubara yang disukai untuk tipe boiler ini adalah sekitar 10 – 15%. Adapun tebal minimum lapisan abu yang diperlukan untuk pembakaran adalah 5cm.

Gambar 3. Stoker Boiler
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pada pembakaran dengan stoker ini, abu hasil pembakaran berupa fly ash jumlahnya sedikit, hanya sekitar 30% dari keseluruhan. Kemudian dengan upaya seperti pembakaran NOx dua tingkat, kadar NOx dapat diturunkan hingga sekitar 250 – 300 ppm. Sedangkan untuk menurunkan SOx, masih diperlukan tambahan fasilitas berupa alat desulfurisasi gas buang.


Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC)
Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih menggunakan metode PCC pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini karena sistem PCC merupakan teknologi yang sudah terbukti dan memiliki tingkat kehandalan yang tinggi. Upaya perbaikan kinerja PLTU ini terutama dilakukan dengan meningkatkan suhu dan tekanan dari uap yang dihasilkan selama proses pembakaran. Perkembangannya dimulai dari sub critical steam, kemudian super critical steam, serta ultra super critical steam (USC). Sebagai contoh PLTU yang menggunakan teknologi USC adalah pembangkit no. 1 dan 2 milik J-Power di teluk Tachibana, Jepang, yang boilernya masing – masing berkapasitas 1050 MW buatan Babcock Hitachi. Tekanan uap yang dihasilkan adalah sebesar 25 MPa (254.93 kgf/cm2) dan suhunya mencapai 600/610 (1 stage reheat cycle). Perkembangan kondisi uap dan grafik peningkatan efisiensi pembangkitan pada PCC ditunjukkan pada gambar 4 di di bawah ini.

Gambar 4. Perkembangan kondisi uap PLTU
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal pulverizer (coal mill) sampai berukuran 200 mesh (diameter 74μm), kemudian bersama – sama dengan udara pembakaran disemprotkan ke boiler untuk dibakar. Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas batubara yang digunakan, terutama sifat ketergerusan (grindability), sifat slagging, sifat fauling, dan kadar air (moisture content). Batubara yang disukai untuk boiler PCC adalah yang memiliki sifat ketergerusan dengan HGI (Hardgrove Grindability Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari 30%, serta rasio bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran dengan metode PCC ini akan menghasilkan abu yang terdiri diri dari clinker ash sebanyak 15% dan sisanya berupa fly ash.

Gambar 5. PCC Boiler
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Ketika dilakukan pembakaran, senyawa Nitrogen yang ada di dalam batubara akan beroksidasi membentuk NOx yang disebut dengan fuel NOx, sedangkan Nitrogen pada udara pembakaran akan mengalami oksidasi suhu tinggi membentuk NOx pula yang disebut dengan thermal NOx. Pada total emisi NOx dalam gas buang, kandungan fuel NOx mencapai 80 – 90%. Untuk mengatasi NOx ini, dilakukan tindakan denitrasi (de-NOx) di boiler saat proses pembakaran berlangsung, dengan memanfaatkan sifat reduksi NOx dalam batubara.

Gambar 6. Proses denitrasi pada boiler PCC
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Pada proses pembakaran tersebut, kecepatan injeksi campuran batubara serbuk dan udara ke dalam boiler dikurangi sehingga pengapian bahan bakar dan pembakaran juga melambat. Hal ini dapat menurunkan suhu pembakaran, yang berakibat pada menurunnya kadar thermal NOx.
Selain itu, sebagaimana terlihat pada gambar 6 di atas, bahan bakar tidak semuanya dimasukkan ke zona pembakaran utama, tapi sebagian dimasukkan ke bagian di sebelah atas burner utama. NOx yang dihasilkan dari pembakara utama selanjutnya dibakar melalui 2 tingkat. Di zona reduksi yang merupakan pembakaran tingkat pertama atau disebut pula pembakaran reduksi (reducing combustion), kandungan Nitrogen dalam bahan bakar akan diubah menjadi N2. Selanjutnya, dilakukan pembakaran tingkat kedua atau pembakaran oksidasi (oxidizing combustion), berupa pembakaran sempurna di zona pembakaran sempurna. Dengan tindakan ini, NOx dalam gas buang dapat ditekan hingga mencapai 150 – 200 ppm. Sedangkan untuk desulfurisasi masih memerlukan peralatan tambahan yaitu alat desulfurisasi gas buang.
Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed Combustion/FBC)
Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu dengan menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25mm. Tidak seperti pembakaran menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran atau metode PCC yang menyemprotkan campuran batubara dan udara pada saat pembakaran, butiran batubara dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara melewatkan angin berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler. Keseimbangan antara gaya dorong ke atas dari angin dan gaya gravitasi akan menjaga butiran batubara tetap dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti fluida yang selalu bergerak. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna karena posisi batubara selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik dan mencukupi untuk proses pembakaran.
Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan bakar yang akan digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang lain. Secara umum, tidak ada pembatasan yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan bakar (fuel ratio) dan kadar abu. Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah sekalipun dapat dibakar dengan baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di permukaannya (free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di atas, nilai tambah dari metode FBC adalah alat peremuk batubara yang dipakai tidak terlalu rumit, serta ukuran boiler dapat diperkecil dan dibuat kompak.
Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 – 1500, maka pada FBC, suhu pembakaran berkisar antara 850 – 900 saja sehingga kadar thermalNOx yang timbul dapat ditekan. Selain itu, dengan mekanisme pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar NOx total dapat lebih dikurangi lagi.
Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan SOx pada metode pembakaran tetap dan PCC, maka pada FBC, desulfurisasi dapat terjadi bersamaan dengan proses pembakaran di boiler. Hal ini dilakukan dengan cara mencampur batu kapur (lime stone, CaCO3) dan batubara kemudian secara bersamaan dimasukkan ke boiler. SOx yang dihasilkan selama proses pembakaran, akan bereaksi dengan kapur membentuk gipsum (kalsium sulfat). Selain untuk proses desulfurisasi, batu kapur juga berfungsi sebagai media untuk fluidized bed karena sifatnya yang lunak sehingga pipa pemanas (heat exchanger tube) yang terpasang di dalam boiler tidak mudah aus.

Gambar 7. Tipikal boiler FBC
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2 yaitu Bubbling FBC dan Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar 7 di atas. Dapat dikatakan bahwa Bubbling FBC merupakan prinsip dasar FBC, sedangkan CFBC merupakan pengembangannya.
Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu cyclone suhu tinggi. Partikel media fluidized bed yang belum bereaksi dan batubara yang belum terbakar yang ikut terbang bersama aliran gas buang akan dipisahkan di cyclone ini untuk kemudian dialirkan kembali ke boiler. Melalui proses sirkulasi ini, ketinggian fluidized bed dapat terjaga, proses denitrasi dapat berlangsung lebih optimal, dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai. Oleh karena itu, selain batubara berkualitas rendah, material seperti biomasa, sludge, plastik bekas, dan ban bekas dapat pula digunakan sebagai bahan bakar pada CFBC. Adapun abu sisa pembakaran hampir semuanya berupa fly ash yang mengalir bersama gas buang, dan akan ditangkap lebih dulu dengan menggunakan Electric Precipitator sebelum gas buang keluar ke cerobong asap (stack).

Gambar 8. CFBC Boiler
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar, disebut dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan udara luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC (PFBC).
Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap perkembangan teknologi FBC ini. Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC menjadiAdvanced PFBC (A-PFBC), sedangkan untuk CFBC selanjutnya berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan kemudian Pressurized ICFBC (PICFBC).
PFBC
Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan air menjadi uap untuk memutar turbin uap, dihasilkan pula gas hasil pembakaran yang memiliki tekanan tinggi yang dapat memutar turbin gas, sehingga PLTU yang menggunakan PFBC memiliki efisiensi pembangkitan yang lebih baik dibandingkan dengan AFBC karena mekanisme kombinasi (combined cycle) ini. Nilai efisiensi bruto pembangkitan (gross efficiency) dapat mencapai 43%.
Sesuai dengan prinsip pembakaran pada FBC, SOx yang dihasilkan pada PFBC dapat ditekan dengan mekanisme desulfurisasi bersamaan dengan pembakaran di dalam boiler, sedangkan NOx dapat ditekan dengan pembakaran pada suhu relatif rendah (sekitar 860) dan pembakaran 2 tingkat. Karena gas hasil pembakaran masih dimanfaatkan lagi dengan mengalirkannya ke turbin gas, maka abu pembakaran yang ikut mengalir keluar bersama dengan gas tersebut perlu dihilangkan lebih dulu. Pemakaian CTF (Ceramic Tube Filter) dapat menangkap abu ini secara efektif. Kondisi bertekanan yang menghasilkan pembakaran yang lebih baik ini secara otomatis akan menurunkan kadar emisi CO2 sehingga dapat mengurangi beban lingkungan.

Gambar 9. Prinsip kerja PFBC
(Sumber: Coal Note, 2001)
Untuk lebih meningkatkan efisiensi panas, unit gasifikasi sebagian (partial gasifier) yang menggunakan teknologi gasifikasi lapisan mengambang (fluidized bed gasification) kemudian ditambahkan pada unit PFBC. Dengan kombinasi teknologi gasifikasi ini maka upaya peningkatan suhu gas pada pintu masuk (inlet) turbin gas memungkinkan untuk dilakukan.
Pada proses gasifikasi di partial gasifier tersebut, konversi karbon yang dicapai adalah sekitar 85%. Nilai ini dapat ditingkatkan menjadi 100% melalui kombinasi dengan pengoksidasi (oxidizer). Pengembangan lebih lanjut dari PFBC ini dinamakan dengan Advanced PFBC (A-PFBC), yang prinsip kerjanya ditampilkan pada gambar 10 di bawah ini. Efisiensi netto pembangkitan (net efficiency) yang dihasilkan pada A-PFBC ini sangat tinggi, dapat mencapai 46%.

Gambar 10. Prinsip kerja A-PFBC
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
ICFBC
Penampang boiler ICFBC ditampilkan pada gambar 11 di bawah ini.

Gambar 11. Penampang boiler ICFBC
(Sumber: Coal Note, 2001)
Seperti terlihat pada gambar, ruang pembakaran utama (primary combustion chamber) dan ruang pengambilan panas (heat recovery chamber) dipisahkan oleh dinding penghalang yang terpasang miring. Kemudian, karena pipa pemanas (heat exchange tube) tidak terpasang langsung pada ruang pembakaran utama, maka tidak ada kekhawatiran terhadap keausan pipa sehingga pasir silika digunakan sebagai pengganti batu kapur untuk media FBC. Batu kapur masih tetap digunakan sebagai bahan pereduksi SOx, hanya jumlahnya ditekan sesuai dengan keperluan saja.
Di bagian bawah ruang pembakaran utama terpasang windbox untuk mengalirkan angin ke boiler, dimana angin bervolume kecil dialirkan melalui bagian tengah untuk menciptakan lapisan bergerak (moving bed) yang lemah, dan angin bervolume besar dialirkan melewati kedua sisi windbox tersebut untuk menimbulkan lapisan bergerak yang kuat. Dengan demikian maka pada bagian tengah ruang pembakaran utama akan terbentuk lapisan bergerak yang turun secara perlahan, sedangkan pada kedua sisi ruang tersebut, media FBC akan terangkat kuat ke atas menuju ke bagian tengah ruang pembakaran utama dan kemudian turun perlahan – lahan, dan kemudian terangkat lagi oleh angin bervolume besar dari windbox. Proses ini akan menciptakan aliran berbentuk spiral (spiral flow) yang terjadi secara kontinyu pada ruang pembakaran utama. Mekanisme aliran spiral dari media FBC ini dapat menjaga suhu lapisan mengambang supaya seragam. Selain itu, karena aliran tersebut bergerak dengan sangat dinamis, maka pembuangan material yang tidak terbakar juga lebih mudah.
Kemudian, ketika media FBC yang terangkat kuat tersebut sampai di bagian atas dinding penghalang, sebagian akan berbalik menuju ke ruang pengambilan panas. Karena pada ruang pengambilan panas tersebut juga dialirkan angin dari bagian bawah, maka pada ruang tersebut akan terbentuk lapisan bergerak yang turun perlahan juga. Akibatnya, media FBC akan mengalir dari ruang pembakaran utama menuju ke ruang pengambilan panas kemudian kembali lagi ke ruang pembakaran utama, membentuk aliran sirkulasi (circulating flow) di antara kedua ruang tersebut. Menggunakan pipa pemanas yang terpasang pada ruang pengambilan panas, panas dari ruang pembakaran utama diambil melalui mekanisme aliran sirkulasi tadi.
Secara umum, perubahan volume angin yang dialirkan ke ruang pengambilan panas berbanding lurus dengan koefisien hantar panas secara keseluruhan. Dengan demikian maka hanya dengan mengatur volume angin tersebut, tingkat keterambilan panas serta suhu pada lapisan mengambang dapat dikontrol dengan baik, sehingga pengaturan beban dapat dilakukan dengan mudah pula.
Untuk lebih meningkatkan kinerja pembangkitan, proses pada ICFBC kemudian diberi tekanan dengan cara memasukkan unit ICFBC ke dalam wadah bertekanan (pressurized vessel), yang selanjutnya disebut dengan Pressurized ICFBC (PICFBC). Dengan mekanisme ini maka selain uap air, akan dihasilkan pula gas hasil pembakaran bertekanan tinggi yang dapat digunakan untuk memutar turbin gas sehingga pembangkitan secara kombinasi (combined cycle) dapat diwujudkan.
Pembangkitan Kombinasi Dengan Gasifikasi Batubara
Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi melalui pemanfaatan gas sintetis hasil proses gasifikasi seperti pada A-PFBC, selanjutnya mengarahkan teknologi pembangkitan untuk lebih mengintensifkan penggunaan teknologi gasifikasi batubara ke dalam sistem pembangkitan. Upaya ini akhirnya menghasilkan sistem pembangkitan yang disebut dengan Integrated Coal Gasification Combined Cycle (IGCC).
Karena tulisan ini hanya membahas perkembangan teknologi pembangkitan listrik, maka penjelasan tentang bagaimana proses gasifikasi batubara berlangsung tidak akan diterangkan disini.
IGCC
Garis besar diagram alir pembangkit listrik sistem IGCC ditampilkan pada gambar 12 di bawah ini.

Gambar 12. Tipikal IGCC
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Seperti terlihat pada gambar, pada sistem ini terdapat alat gasifikasi (gasifier) yang digunakan untuk menghasilkan gas, umumnya bertipe entrained flow. Yang tersedia di pasaran saat ini untuk tipe tersebut misalnya Chevron Texaco (lisensinya sekarang dimiliki GE Energy), E-Gas (lisensinya dulu dimiliki Dow, kemudian Destec, dan terakhir Conoco Phillips ), dan Shell. Prinsip kerja ketiga alat tersebut adalah sama, yaitu batubara dan oksigen berkadar tinggi dimasukkan kedalamnya kemudian dilakukan reaksi berupa oksidasi sebagian (partial oxidation) untuk menghasilkan gas sintetis (syngas), yang 85% lebih komposisinya terdiri dari H2 dan CO. Karena reaksi berlangsung pada suhu tinggi, abu pada batubara akan melebur dan membentuk slag dalam kondisi meleleh (glassy slag). Adapun panas yang ditimbulkan oleh proses gasifikasi dapat digunakan untuk menghasilkan uap bertekanan tinggi, yang selanjutnya dialirkan ke turbin uap.
Oksigen yang digunakan untuk proses gasifikasi dihasilkan dari fasilitas Air Separation Unit (ASU). Unit ini berfungsi untuk memisahkan oksigen dari udara melalui mekanisme cryogenic separation, menghasilkan oksigen berkadar sekitar 95%. Selain oksigen, pada ASU juga dihasilkan nitrogen yang digunakan sebagai media inert untuk feeding batubara ke gasifier, selain dapat pula digunakan untuk menurunkan suhu pada combustor sehingga emisi NOx dapat terkontrol.
Pada gas sintetis, selain H2 dan CO juga dihasilkan unsur lain yang tidak ramah lingkungan seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char. Oleh karena itu, gas harus diproses terlebih dulu untuk menghilangkan bagian tersebut sebelum dikirim ke turbin gas. Gas buang dari turbin gas kemudian mengalir ke Heat Recovery Steam Generator (HRSG) yang berfungsi mengubah panas dari gas tersebut menjadi uap air, yang selanjutnya dialirkan menuju turbin uap. Dengan mekanisme seperti ini, efisiensi netto pembangkitan yang dihasilkan juga jauh melebihi pembangkitan pada sistem biasa (PCC) yang saat ini mendominasi. Selain efisiensi pembangkitan, kelebihan lain IGCC adalah sangat rendahnya kadar emisi polutan yang dihasilkan, fleksibilitas bahan bakar yang dapat digunakan, penggunaan air yang 30-40% lebih rendah dibanding PLTU konvensional (PCC), tingkat penangkapan CO2 yang signifikan, slagyang dapat dimanfaatkan untuk material pekerjaan konstruksi, dan lain – lain.
Sebagai contoh adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda, berkapasitas 250MW. Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan performansi baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi pembuangan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air limbah ke lingkungan.
Di samping kelebihan tersebut, terdapat pula kelemahan pada sistem IGCC yang dikembangkan saat ini, misalnya, besarnya kapasitas pembangkitan yang ditentukan berdasarkan banyaknya unit dan model turbin gas yang akan digunakan. Contohnya untuk turbin gas GE Frame 7FA yang berkapasitas 275MW. Apabila IGCC akan dioperasikan dengan kapasitas pembangkitan 275MW, berarti cukup 1 unit yang dipasang. Bila 2 unit yang akan digunakan, berarti kapasitas pembangkitan menjadi 550MW, dan bila 3 unit maka akan menjadi 825MW. Kemudian bila kapasitas pembangkitan yang diinginkan adalah di bawah 200MW, maka model yang dipakai bukan lagi GE Frame 7FA, tapi GE 7FA yang berkapasitas 197MW. Demikian pula bila menghendaki kapasitas pembangkitan yang lebih kecil lagi, maka GE 6FA yang berkapasitas 85MW dapat digunakan.
Dengan kombinasi antara model dan banyaknya unit turbin gas yang akan digunakan ini, selain akan membatasi kapasitas pembangkitan pada IGCC, sebenarnya juga akan mempersempit rentang operasi. Misalnya ketika akan menurunkan beban pada saat operasi puncak, hal itu mesti dilakukan dengan menurunkan beban pada turbin gas. Penurunan beban turbin gas ini otomatis akan menurunkan efisiensi pembangkitan dan akibat yang kurang baik pada emisi polutan yang dihasilkan. Kelemahan lain yang perlu dicermati dari sistem IGCC saat ini adalah ongkos pembangkitan per kW dan operation &maintenance (O & M) yang lebih mahal, serta availability factor (AF) yang lebih rendah dibanding PCC.
Sejarah IGCC dimulai pada tahun 1970 ketika perusahaan STEAG dari Jerman Barat mengembangan IGCC berkapasitas 170MW. Jauh setelahnya, proyek demonstration plant IGCC bernama Cool Water diluncurkan di AS pada tahun 1984, yang mengoperasikan IGCC berkapasitas 120MW sampai dengan tahun 1989. Sampai tulisan ini dibuat, sebenarnya belum ada unit IGCC yang murni komersial. Penyebab utamanya adalah investasi pembangunannya yang besar, serta teknologi IGCC yang belum terbukti. Teknologi IGCC disini maksudnya adalah rangkaian proses dari keseluruhan bangunan (building block) yang membentuk sistem IGCC utuh. Hal ini perlu ditekankan karena teknologi dari masing – masing unit pada IGCC misalnya gasifier, HRSG, turbin gas, turbin uap, dan yang lainnya merupakan teknologi yang sudah terbukti. Selama perkembangan yang berlangsung sekitar 20 tahun lebih sejak proyek Cool Water, unit IGCC yang beroperasi secara komersial saat ini baik di AS maupun di Eropa pada awalnya berstatus demonstration plant. Contoh beberapa plant IGCC tersebut adalah
1. Tampa Electric Polk 250MW IGCC Power Station, terletak di Florida, AS. IGCC ini beroperasi sejak September 1996 dibawah proyek Tampa, menggunakan gasifier dari Chevron Texaco (sekarang GE Energy). Bahan bakar yang digunakan adalah batubara dan petroleum coke (petcoke). Masalah yang dihadapi adalah lebih rendahnya tingkat konversi karbon dibandingkan dengan nilai yang direncanakan. Pernah pula terjadi fauling padagas cooler.
2. Wabash River 260MW IGCC Power Station, terletak di Indiana, AS. Beroperasi sejak September 1995 dibawah proyek Wabash River, pembangkit ini menggunakan teknologi gasifikasi dari Global Energy (saat ini bagian dari Conoco Phillips). Sejak berakhirnya proyek dari Departemen Energi AS (DOE) pada tahun 2001, bahan bakar yang digunakan adalah petcoke 100%.
3. Nuon 250MW IGCC Power Station, terletak di Buggenum, Belanda. IGCC ini bermula dari proyek Demkolec yang dimulai pada bulan Januari 1994. Teknologi yang digunakan adalah dari Shell, yang bahan bakarnya adalah batubara dicampur dengan biomassa (sludge dan sampah kayu) untuk lebih mengurangi emisi CO2. Masalah yang pernah terjadi adalah kebocoran pipa gas cooler dan timbulnya fauling pada gas cooler ketika campuran sludge sekitar 4-5%.

Gambar 13. Nuon IGCC, Buggenum
(Sumber: Thomas Chhoa, Shell Gas & Power, 2005)
4. Elcogas 300MW IGCC Power Station, terletak di Puertollano, Spanyol.  Pembangkit IGCC ini beroperasi sejak Juni 1996 dibawah proyek Puertollano, menggunakan teknologi gasifikasi dari Prenflow (saat ini bagian dari Shell). Bahan bakarnya berupa campuran petcoke dan batubara berkadar abu 40% dengan perbandingan 50:50. Di bawah program dari Uni Eropa, plant ini direncanakan sebagai tempat untuk proyek pengambilan CO2 (CO2 recovery) dan produksi H2.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya efisiensi pembangkitan yang tinggi, faktor ramah lingkungan, dan teknologi gasifikasi yang sudah terbukti, upaya untuk lebih mengurangi kelemahan IGCC sudah mulai dilakukan.
Selain dari segi biaya, dilakukan pula upaya untuk lebih meningkatkan efisiensi pembangkitan, yaitu dengan menambahkan sel bahan bakar (fuel cell) ke dalam sistem IGCC. Dengan demikian, akan terdapat 3 jenis kombinasi pembangkitan pada sistem yang baru ini yaitu turbin gas, turbin uap, dan fuel cell. Metode pembangkitan ini disebut dengan Integrated Coal Gasification Fuel Cell Combined Cycle (IGFC), yang diagram alirnya ditampilkan pada gambar 16 di bawah ini.

Gambar 14. Tipikal IGFC
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Pada sel bahan bakar, pembangkitan listrik dilakukan secara langsung melalui reaksi elektrokimia antara hidrogen dan oksigen sehingga tingkat kerugian energinya sedikit dan efisiensi pembangkitannya tinggi. Hidrogen tersebut dapat berasal dari gas alam, gas bio, atau gas hasil gasifikasi batubara. Berdasarkan material yang digunakan untuk elektrolitnya, sel bahan bakar terbagi 4 yaitu Phosphoric-Acid Fuel Cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel Cell(MCFC), Solid-Oxide Fuel Cell (SOFC), dan Proton-Exchange Membrane Fuel Cell (PEFC). Di bawah ini ditampilkan karakteristik dari keempat jenis sel bahan bakar tersebut.
Tabel 1. Karakteristik Sel Bahan Bakar
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Dari tabel di atas terlihat bahwa sel bahan bakar yang sesuai untuk kombinasi pembangkitan dengan turbin gas adalah SOFC, karena reaksinya menghasilkan suhu yang sangat tinggi.
Dibandingkan dengan PCC, pembangkitan dengan metode IGFC ini secara teoretis mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 30%. Kelebihan lainnya adalah tingginya efisiensi pembangkitan yang dapat dicapai yaitu minimal 55%. Disamping kelebihan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum IGFC benar – benar dapat diaplikasikan secara komersial. Yang pertama adalah urgensi pematangan teknologi IGCC, karena IGFC pada dasarnya adalah pengembangan dari IGCC. Kemudian, perlunya pengembangan sel bahan bakar yang berefisiensi tinggi tapi murah, untuk mendukung biaya pembangkitan yang kompetitif ke depannya.
Penutup
Perkembangan teknologi pembakaran pada PLTU batubara telah disajikan di atas. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu teknologi yang berkembang tidak terlepas dari hal pokok yang disebut 3E, yaitu Engineering (sisi teknis), Economy (sisi ekonomis), dan Environment (sisi lingkungan). Pada tahap awal, faktor Economy mungkin menjadi pertimbangan utama untuk pembangunan fasilitas pembangkitan, diikuti Engineering, dan terakhir Environment. Namun seiring dengan upaya pengurangan polusi atau pencemaran lingkungan yang menyebabkan makin ketatnya baku mutu lingkungan, terlihat bahwa urutan 3E tersebut mulai berubah. Faktor Environment secara perlahan menempati urutan pertama dalam pertimbangan pengembangan teknologi, kemudianEngineering, dan terakhir justru Economy.
Mengambil contoh IGCC, adalah wajar bila tahap awal perkembangannya pasti memerlukan biaya yang besar. Namun seiring dengan menguatnya isu lingkungan dan matangnya teknologi tersebut, biaya itu akan menurun dan pada waktu tertentu akan kompetitif terhadap teknologi yang sudah ada. Sebaliknya, teknologi pembangkitan yang ada, misalnya PCC yang saat ini mendominasi, lambat laun akan semakin mahal untuk mengakomodasi standar mutu lingkungan yang semakin ketat, dan pada akhirnya justru malah akan membebani dari segi ekonomi. Di bawah ini ditampilkan perbandingan biaya pembangkitan antara IGCC dan PCC di AS selama kurun 20 tahun terakhir, dan prediksinya di masa depan.

Gambar 15. Perbandingan Biaya Pembangkitan per kW IGCC dan PCC di AS
(Sumber: JCOAL Journal, vol.3, Jan. 2006)
Dari grafik di atas terlihat bahwa selama 20 tahun terakhir, biaya pembangkitan untuk PCC meningkat sekitar 50%. Peningkatan tersebut diakibatkan oleh penambahan peralatan untuk mengurangi beban lingkungan, misalnya fasilitas desulfurisasi (FGD). Sebaliknya, biaya pembangkitan per kW pada IGCC justru semakin menurun, dan diharapkan pada tahun 2010, nilainya akan sama dengan pada PCC, yaitu sekitar $1200.
Referensi
1. Amick, Phil, Coal Gasification Flexibility for Fuels & Products, ConocoPhillips, 2005
2. Baardson, John A., Coal to Liquids: Shell Coal Gasification with Fischer-Tropsch Synthesis, Baardson Energy LLC, 2003.
3. Chhoa, Thomas, Shell Gasification Business in Action, Shell Gas & Power, 2005.
4. JCOAL, Coal Science Handbook, Japan Coal Energy Center, 2005.
5. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 2, Nov. 2005, Japan Coal Energy Center, 2005.
6. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 3, Jan. 2006, Japan Coal Energy Center, 2006.
7. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 4, Mar. 2006, Japan Coal Energy Center, 2006.
8. Material Presentasi, Idemitsu Kosan Co., Ltd, 2003.
9. Sekitan no Kiso Chishiki, Sekitan Shigen Kaihatsu Kabushiki Kaisha.
10. Shigen Enerugi- Chou Shigen Nenryou Bu, Ko-ru No-to 2001 Nen Ban, Shigen Sangyou Shinbunsha, 2001.
11. Sema, Tohru, Karyoku Hatsuden Souron, Denki Gakkai, 2002.
12. WCI, The Coal Resource, World Coal Institute, 2004.
Samarinda, 2006.