Oleh: Masafumi Uehara (JCOAL Resources Development Division)
1. Pendahuluan
Indonesia adalah pemasok batubara terbesar kedua bagi Jepang, dan negara ini akan tetap menempati posisi yang penting terhadap stabilitas pasokan batubara yang digunakan di Jepang di masa mendatang. Tulisan di bawah ini akan menyajikan kondisi terkini industri batubara Indonesia.
2. Gambaran Umum Industri Batubara Indonesia
Batubara Indonesia terutama dihasilkan dari Kalimantan dan Sumatera, serta sejumlah kecil dari Jawa, Sulawesi, dan tempat lain. Tambang – tambang & pelabuhan batubara utama di Indonesia ditampilkan pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Lokasi tambang & pelabuhan batubara utama
Industri batubara Indonesia yang berkembang dengan baik selama ini ditopang oleh kebijakan batubara pemerintah yang memperkenalkan investasi asing secara agresif. Dari segi jumlah produksi, terdapat kenaikan yang sangat signifikan dimana angka produksi 15 tahun lalu yang hanya sebesar 31 juta ton meningkat hingga 8 kali lipat pada tahun 2010 menjadi 256 juta ton. Dan dalam 5 tahun terakhir ini terlihat kenaikan produksi sebanyak 20 juta ~ 40 juta ton per tahun. Demikian pula dengan volume ekspor yang terus meningkat, dimana ekspor pada tahun 2010 telah mencapai angka 198 juta ton sehingga menempatkan Indonesia menjadi salah satu eksportir batubara terbesar di dunia. Dari yang sebelumnya eksportir minyak, Indonesia sekarang ini adalah negara importir minyak, yang menyebabkan batubara semakin menempati posisi yang penting menggantikan minyak dalam komposisi penggunaan energi di Indonesia.Akan tetapi, pada saat yang bersamaan pemerintah juga dihadapkan pada berbagai tantangan permasalahan, diantaranya semakin menjauhnya lokasi penambangan ke pedalaman, meningkatnya rasio pengupasan (stripping ratio), serta kekhawatiran tentang masalah lingkungan seperti kerusakan hutan. Batubara Indonesia memiliki kadar abu dan sulfur yang rendah sehingga dikenal ramah lingkungan. Hal ini menyebabkan batubara Indonesia semakin kompetitif di pasar dunia, di tengah kesadaran lingkungan yang makin meningkat pada saat ini. Dan untuk menjamin pasokan batubara bagi industri dalam negeri, membuka tambang – tambang baru melalui daya dorong investasi termasuk investasi asing, serta mengeliminasi penambangan ilegal dan praktik suap dalam usaha penambangan, maka pemerintah mengeluarkan UU Mineral & Batubara / UU Minerba (UU No 4 tahun 2009) sebagai pengganti UU No 11 tahun 1967, yang ditandatangani oleh Presiden pada bulan Januari 2009. Selain itu, pemerintah juga memberikan perhatian yang serius terhadap upaya pengembangan energi berbahan baku batubara seperti UBC, pencairan batubara, dan gasifikasi batubara.
3. Kondisi Energi di Indonesia
Tabel 1 di bawah ini menampilkan data aktual konsumsi energi primer Indonesia tahun 2008 dan prediksi konsumsi energi primer tahun 2025, sedangkan tabel 2 menunjukkan komposisi pembangkitan listrik dari tahun 2005 sampai 2007. Pada komposisi energi primer terlihat peningkatan rasio untuk batubara setiap tahunnya, dimana persentase batubara yang hanya sebesar 18.3% pada tahun 2008, direncanakan meningkat hingga 33% pada tahun 2025. Rencana ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan peranan batubara sebesar 33% pada bauran energi nasional di tahun 2025. Peraturan ini menunjukkan dengan jelas mengenai kebijakan untuk mendorong pengusahaan batubara, sebagai upaya untuk mendukung konversi energi minyak ke batubara. Dalam pembangkitan listrik pun rasio pemakaian batubara juga terus meningkat setiap tahunnya, dimana realisasi pada tahun 2007 mencatat angka sebesar 63%. Adapun rasio gas alam pada pembangkitan listrik menurun karena adanya kebijakan peningkatan ekspor gas.
Tabel 1. Statistik energi primer
Tabel 2. Komposisi bahan bakar pada pembangkitan listrik
4. Cadangan dan Kualitas Batubara
Cadangan batubara Indonesia dihitung berdasarkan eksplorasi yang terus dilakukan, sehingga angkanya pun terus membesar seiring dengan ditemukannya lapisan – lapisan baru batubara. Tabel 3 menampilkan sumber daya batubara Indonesia, sedangkan tabel 4 menunjukkan sumber daya batubara berdasarkan kualitasnya. Meskipun total sumber daya batubara Indonesia mencapai 104,7 miliar ton, tapi cadangan yang bisa ditambang hanya sekitar 1/5nya saja, yaitu sebesar 21,1 miliar ton. Jumlah ini dipastikan akan bertambah seiring dengan eksplorasi yang terus berlangsung. Dilihat dari wilayah, maka hampir seluruh cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatera (50,06%) dan Kalimantan (49,56%), sedangkan sebagian kecil terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua. Batubaranya pun hampir semuanya berjenis batubara uap, dengan karakteristik kadar abu dan sulfur yang rendah. Dari cadangan yang ada, diketahui bahwa jumlah untuk tipe bituminus dan sub-bituminus sebesar kurang lebih 40%, sedangkan sebagian besar sisanya adalah lignit (dalam tabel 4 merujuk ke sebagian batubara berkualitas sedang dan rendah). Antrasit juga diproduksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit. Di Kalimantan bagian tengah juga diketahui terdapat batubara kokas sehingga pembangunan tambang di sana berlangsung dengan pesat dalam beberapa tahun belakangan ini.
Tabel 3. Sumber daya & cadangan batubara
Tabel 4. Sumber daya batubara berdasarkan kualitas
5. Sistem Operasi Produksi dan Jumlah Produksi Batubara
Sistem operasi produksi batubara Indonesia secara garis besar terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu ① BUMN (PT Bukit Asam/PTBA), ② PKP2B atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (Coal Contract of Work/CCoW) yang terbagi menjadi 3 generasi, ③ KP (Kuasa Penambangan), dan ④ KUD. PKP2B adalah kelompok yang lahir dari hasil kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendorong pengusahaan batubara melalui upaya mengundang investasi asing secara agresif. Tambang – tambang PKP2B memberikan kontribusi yang besar dalam menggenjot jumlah produksi batubara Indonesia yang meningkat secara drastis sekarang ini. PTBA memiliki tambang terbuka skala besar di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, serta tambang bawah tanah di Ombilin, Sumatera Barat. Adapun tambang – tambang berstatus KP umumnya adalah tambang investasi dalam negeri, sedangkan tambang – tambang KUD biasanya berskala kecil.
Dengan diundangkannya UU No 4 tahun 2009, maka hanya kontrak PKP2B yang masih terus berlanjut, sedangkan sistem yang lainnya tidak berlaku lagi.
UU Minerba yang baru menetapkan adanya Wilayah Pertambangan (WP), yang didalamnya terbagi menjadi 3 jenis wilayah pengusahaan mineral & batubara, yaitu Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), serta Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK). UU ini juga menetapkan aturan baru berupa Ijin Usaha Pertambangan (IUP), yang dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, perusahaan swasta, KUD, maupun perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Sebagai upaya mewujudkan transparansi perijinan, maka sistem tender diberlakukan pada proses pemberian IUP ini. Ijin pengusahaan terbagi berdasarkan wilayah pertambangannya, yaitu Ijin Usaha Pertambangan (IUP), Ijin Pertambangan Rakyat (IPR), serta Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUP sendiri terbagi menjadi IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Sebagai peraturan pelaksana dari UU ini, maka pemerintah secara bertahap mengeluarkan peraturan – peraturan tentang ① Usaha pertambangan mineral dan batubara, ② Wilayah pertambangan (PP No 22 tahun 2010), ③ Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral & batubara (PP No 23 tahun 2010), serta ④ Reklamasi lahan pasca tambang.
Statistik jumlah produksi batubara Indonesia ditampilkan pada tabel 5 di bawah. Pada tahun 2009, jumlah produksi mencapai 256 juta ton, yang sebagian besar dihasilkan oleh 10 perusahaan tambang PKP2B generasi 1. Berdasarkan realisasi produksi tahun 2008, tambang – tambang dengan jumlah produksi melebihi 10 juta ton adalah Adaro (38 juta ton), KPC (36 juta ton), Kideco Jaya Agung (22 juta ton), Berau Coal (13 juta ton), Arutmin (16 juta ton), serta Indominco Mandiri (11 juta ton). Keseluruhan jumlah produksi dari keenam tambang tersebut mendekati 60% dari total produksi batubara nasional.
Tabel 5. Jumlah produksi batubara
Foto 1 di bawah ini menampilkan lokasi penambangan PT. Adaro, yang merupakan produsen batubara terbesar di Indonesia. Tambang ini memiliki beberapa lapisan batubara dengan ketebalan antara 10m sampai 30m di lokasinya, dan memanfaatkan teknologi penambangan mutakhir yang aplikasinya masih sedikit di dunia. Saat ini Adaro telah berkembang menjadi tambang terbuka berskala besar.
Foto 1. Lapangan penggalian PT. Adaro
Jumlah tambang berdasarkan sistem operasi produksi ditunjukkan pada tabel 6. Angka yang ditampilkan adalah data aktual per September 2010. Tambang BUMN hanya 1 perusahaan, yaitu PTBA. Untuk PKP2B generasi 1, dari yang awalnya sebanyak 11 buah kini tinggal 10 saja karena 1 tambang mengundurkan diri dari kontrak. Ke-10 tambang tersebut seluruhnya sudah berproduksi saat ini. Untuk generasi 2, dari 18 tambang di awal, kini hanya 12 buah yang masih melanjutkan kontrak, dimana 10 tambang sudah mulai berproduksi. Adapun untuk generasi 3, dari 100 lebih tambang di awal, 30 buah lebih sudah mengundurkan diri sehingga tersisa 54 tambang saja yang melanjutkan kontrak. Dan dari 54 tambang itu, 20 buah sudah mulai berproduksi. Dengan demikian, tambang – tambang PKP2B yang terus melakukan pengembangan berjumlah 76 buah, yang 40 di antaranya sudah berproduksi. Untuk tambang berstatus KP, saat ini jumlahnya meningkat secara drastis dan diperkirakan lebih dari 2500 buah, sebagai akibat dari kebijakan pemindahan wewenang perijinan kuasa penambangan saat berlakunya undang – undang otonomi daerah pada tahun 1999. Dari jumlah tersebut, 900 tambang diantaranya sudah memenuhi prosedur perijinan berdasarkan UU Minerba yang baru, yaitu IUP. Dengan berlanjutnya pembangunan tambang oleh tambang – tambang PKP2B generasi 2 dan 3 serta KP, maka produksi batubara Indonesia diperkirakan akan terus meningkat ke depannya.
Tabel 6. Jumlah tambang berdasarkan sistem operasi produksi
6. Jumlah Kebutuhan Domestik dan Ekspor
Statisik jumlah kebutuhan domestik ditampilkan pada tabel 7. Terlihat bahwa pembangkitan listrik dan industri semen mendominasi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2005, konsumsi domestik adalah sebanyak 41,35 juta ton, naik menjadi 56 juta ton pada tahun 2009. Dengan diluncurkannya crash program 10.000 MW di bidang kelistrikan, maka kebutuhan domestik diperkirakan akan meningkat hingga 64,96 juta ton pada tahun 2010, serta 78,97 juta ton pada tahun 2011. (Sumber: Seminar APEC di Fukuoka tahun 2010).
Tabel 7. Kebutuhan domestik
Kemudian untuk realisasi ekspor, statistiknya ditampilkan pada tabel 8. Ekspor batubara Indonesia terus mengalami peningkatan, dengan tujuan utama ke Asia, yaitu Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Realisasi ekspor tahun 2009 adalah sebesar 198 juta ton.
Tabel 8. Realisasi ekspor batubara Indonesia
7. Prediksi Jumlah Produksi, Kebutuhan Domestik, dan Ekspor
Prediksi dalam jangka panjang untuk jumlah produksi batubara, jumlah kebutuhan domestik serta ekspor ditampilkan pada tabel 9. Mulai berproduksinya tambang – tambang PKP2B yang tersisa serta KP akan meningkatkan produksi batubara setiap tahunnya sehingga jumlah produksi pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 405 juta ton. Volume kebutuhan domestik pun akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, sehingga pada tahun 2025 diprediksi sebesar 220 juta ton. Hal ini berarti peningkatan tajam sekitar 4 kali lipat dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang sebesar 49 juta ton. Meningkatnya kebutuhan domestik mengakibatkan pertumbuhan untuk ekspor diperkirakan hanya akan sampai tahun 2015, kemudian menurun hingga angka 185 juta ton pada tahun 2025.
Tabel 9. Prediksi jumlah produksi, kebutuhan domestik, dan ekspor
8. Kondisi Infrastruktur dan Pelabuhan Batubara
Di Indonesia, infrastruktur yang terkait dengan pengusahaan batubara belumlah memadai. Transportasi batubara umumnya memanfaatkan sungai besar, seperti Sungai Musi di Sumatera Selatan, Sungai Barito di Kalimantan Tengah dan Selatan, serta Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Kereta batubara sampai saat ini hanya digunakan di tambang PTBA Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Selain itu, terminal batubara dan pelabuhan batubara dapat dikatakan belum memadai pula. Batubara kebanyakan diangkut dengan menggunakan tongkang melewati sungai kemudian dipindahkan ke kapal batubara besar di laut lepas (trans-shipment) sehingga efisiensi pengangkutan menjadi kurang baik. Untuk itu, perlu upaya baru untuk mengatasi hal ini, misalnya penggunaan fasilitas penimbunan dan pengangkutan batubara terapung skala besar (mega float) atau pusher barge. Tabel 10 menampilkan pelabuhan – pelabuhan batubara di Indonesia, sedangkan foto 2 menampilkan situasi lokasi trans-shipment di lepas pantai Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Taboneo). Kemudian foto 3 menunjukkan suasana trans-shipment dari tongkang ke kapal besar. Di Taboneo, banyak kapal batubara besar yang menunggu dalam jangka waktu lama.
Tabel 10. Pelabuhan – pelabuhan batubara di Indonesia
Foto 2. Suasana di Taboneo
Foto 3. Trans-shipment dari tongkang ke kapal besar
9. Dampak Positif Pengusahaan Batubara dan Kebijakan Yang Perlu Diambil
Di Indonesia, batubara memberikan kontribusi yang besar terhadap pemasukan negara. Berikut ini adalah dampak positif dari pengusahaan batubara:
- Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan yang penting bagi negara maupun daerah.
- Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting.
- Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi daerah.
Meskipun demikian, diperlukan kebijakan baru untuk menjamin pengusahaan batubara ini ke depannya, misalnya penguatan pengawasan tambang terkait berpindahnya mekanisme pengawasan ke daerah, penanganan masalah lingkungan, serta tindakan tegas terhadap penambangan tanpa ijin (PETI) yang selalu saja menjadi masalah laten.
10. UU Minerba Baru
Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara masih diperlukan untuk menunjang pembangunan, sehingga pengembangan tambang batubara masih akan terus berlanjut. Pelaksanaan UU Mineral dan Batubara yang baru ditujukan untuk mendorong realisasi hal itu. Di bawah ini adalah poin – poin penting dalam UU tersebut:
- Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan oleh gubernur, bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi daerah).
- Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam negeri, dalam hal ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang (Belum ada kewajiban untuk membangun fasilitas prepasi batubara/coal preparation plant).
- Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan pembangunan daerah (community development) dan penanganan lingkungan yang terkait dengan pelaksanaan pertambangan.
- Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah produksi, volume ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan kewajiban suplai untuk kebutuhan domestic (Domestic Market Obligation / DMO) dan regulasi harga batubara (Indonesia Coal Price Reference / ICPR).
- Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN dan perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah Pencadangan Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat.
- Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat publik. Aturan hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran menjadi lebih tegas, serta memungkinkan hukuman pidana bagi badan hukum.
11. Penutup
UU Minerba yang baru mengatur kebijakan DMO, yang berarti memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dibandingkan ekspor. Sudah tentu hal ini menjadi perhatian bagi negara – negara pengimpor batubara Indonesia, termasuk Jepang di dalamnya. Tetapi pemerintah Indonesia menyatakan bahwa volume ekspor tidak akan mengalami kendala dalam beberapa waktu ke depan, karena pertumbuhan konsumsi dalam negeri diperkirakan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan produksi batubara nasional. Selain itu, pemerintah juga mencanangkan pengurangan emisi CO2sebesar 26% sampai dengan tahun 2030 melalui tindakan seperti pemakaian bio-fuel dan konversi ke energi panas bumi, meskipun kebijakan konkretnya masih belum jelas. Dengan demikian, maka topik yang harus diperhatikan bersama adalah jumlah kebutuhan energi dalam negeri Indonesia dan sumber energi yang memasoknya.
* Terjemah bebas artikel berjudul “Indonesia sekitan jijou”, dalam JCOAL Journal Vol 18, Januari 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar