Saya sangat setuju dengan apa
yang di ulas oleh Ibu Isyana Artharini dalam Blognya Newsroom . Saking
setujunya dengan ulasan beliau hingga saya jadikan Kliping dalam blog Saya ini
, Memang apa yang diulas beliau merupakan keprihatinan bagi bangsa Indonesia
dimana saat ini Banyak Perusahaan maupun perorangan tak lagi memikirkan nasib
orng banyak, yang ada hanyalah untuk kepentingan pribadi ataupun Golongan ,
kepentingan Partai ataupun organisasi, banyak kaum petani dan pemilik lahan
yang miskin tak berdaya melawan tuntutan hukum yang memang sudah diatur dan
dipermainkan , bahkan tak jarang masih dibantu dengan oknum pengacara yang
memutar sisi hukum untuk kemenangan kliennya . Berikut ini adalah ulasan Ibu
Isyana Artharini :
Ribuan petani, nelayan, kelompok adat,
dan kelompok masyarakat turun ke jalan-jalan di Jakarta , Kamis (12/1) kemarin. Mereka datang
ke Istana Negara dan Gedung DPR menuntut agar pemerintah mengusut perampasan
tanah serta berbagai konflik agraria lainnya. Bukan hanya di Ibu Kota, di
Yogyakarta, Mataram, Makassar, Gorontalo, Semarang, dan Samarinda, Kalimantan
Timur, kelompok masyarakat dari elemen-elemen serupa juga menuntut penyelesaian
akan konflik-konflik tanah yang memakan korban jiwa di Indonesia.
Konflik-konflik tanah tersebut biasanya menghadapkan warga
dengan perusahaan pertambangan atau perkebunan. Menurut Koordinator Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam) Andrie S Wijaya, Jumat (13/1) di Jakarta, sekitar 40
persen dari tanah yang terampas oleh perusahaan tambang adalah
kebun/ladang/sawah yang menjadi sumber penghidupan warga yang berkonflik.
Pertambangan bukan hanya merugikan petani, tapi juga nelayan.
Ekstraksi pasir besi di wilayah pesisir Jawa dan Bengkulu menyulitkan nelayan
mencari ikan. Akhir 2011 lalu, Jatam menemukan tren pesisir dan pulau-pulau
kecil yang menjadi target besar bagi pengerukan nikel dan pasir besi. Hasil
kerukan tersebut tidak diolah sehingga memberi nilai tambah bagi masyarakat,
tapi langsung diangkut mentah-mentah ke Cina.
Pertambangan juga dilakukan di daerah-daerah yang merusak
ekosistem tempat ikan mencari makan. Ditambah dengan ekstremitas cuaca yang
makin sering terjadi (gelombang besar), nelayan pun harus makin jauh mencari
ikan. Padahal mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli lebih banyak bahan
bakar agar bisa melaut lebih jauh.
Di 2012 ini, Andrie mengatakan, ada tren izin-izin baru
pertambangan untuk emas dipicu oleh harga komoditas yang meski fluktuatif, tapi
menggiurkan. Setidaknya sudah ada izin penggunaan kawasan 15 ribu hektar di
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Gorontalo. Di Aceh, dari 2007
pasca-tsunami sampai sekarang, dari satu izin pertambangan, kini ada 141 izin
pertambangan. Indonesia
timur juga akan menjadi pusat pengerukan sumber daya tambang dan nikel.
Salah satu sebab utama terjadinya konflik lahan antara
industri pertambangan dengan masyarakat lokal adalah warga selalu tidak pernah
tahu akan ada aktivitas pertambangan yang masuk ke wilayah mereka. Pertambangan
sebagai industri pun butuh banyak lahan, maka warga sering menerima harga yang
tidak masuk akal untuk ganti rugi tanah mereka. Belum lagi adanya
intimidasi-intimidasi yang dilakukan oleh calo tanah agar warga menyerahkan
tanahnya.
Setelah aktivitas pertambangan berjalan, warga akan
diberdayakan menjadi buruh atau tenaga pengamanan di sekitar tambang. Padahal,
menurut Andrie, warga sekitar tambang bukannya tidak berdaya secara
ekonomi.
"Seperti yang terjadi di Bima, warga sebenarnya sudah
berdaya secara ekonomi dari segi pertanian, yaitu bawang. Begitu juga di
Mandailing Natal .
Jadi seolah ada stigma yang dilekatkan bahwa masyarakat sekitar pertambangan
itu miskin sebelum ada tambang lalu mereka diberdayakan. Padahal tidak,"
kata Andrie.
Kesenjangan ekonomi antara pekerja tambang dan warga lokal
pun meningkat. Belum lagi biaya hidup yang ikut naik karena harga yang
menyesuaikan dengan standar hidup pekerja tambang.
Konflik juga muncul ketika limbah pertambangan mencemari
lingkungan tempat warga tinggal. Andrie mencontohkan, di Kerta Buana, Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur, pencemaran oleh perusahaan pertambangan di sana masuk ke air yang
digunakan untuk mengairi persawahan warga. Meski sudah berdemonstrasi,
protes-protes warga tidak ditanggapi oleh pemerintah lokal.
Keberpihakan pemerintah, baik lokal maupun pusat, yang
terlalu kuat pada investor kerap menyebabkan protes-protes warga sekitar tak
didengar. Warga pun bisa semakin 'kreatif' dalam mengajukan protes, seperti
menghalangi akses ke kawasan tambang atau merusak alat pertambangan.
Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (UU Minerba) memungkinkan terjadinya kriminalisasi pada warga yang
dinilai akan membahayakan kawasan pertambangan. Tak heran jika semua elemen itu
bercampur dan menyebabkan terjadinya konflik.
Konflik ini menjadi semakin rumit ketika kekuatan politik dan
ekonomi di tingkat nasional, regional, bahkan lokal, mendukung industri
pertambangan sehingga lokasi-lokasi tambang dianggap sebagai objek vital yang harus
dilindungi.
Di tingkat nasional, Jatam menyoroti keterlibatan para
pengusaha dan perusahaan tambang yang menyumbang pada kampanye pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden 2009 lalu. Sebesar Rp 24,5 miliar berasal dari
perusahaan tambang minyak, gas, dan batubara.
Izin-izin pertambangan atau memperbanyak produksi juga keluar
sesudah peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan kepala daerah atau malah
pemilihan presiden. Selain itu, sektor perbankan nasional juga menyokong
operasional industri pertambangan di Indonesia.
Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia
menambahkan, "Sempurna sudah dukungan untuk industri pertambangan. Dengan
dukungan politik dan finansial, otomatis mereka akan mendapat dukungan keamanan
juga."
Direktur Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara
mengatakan, solusi atas konflik-konflik tanah dan pertambangan yang terjadi di Indonesia
sebenarnya mudah. Dari segi hierarki kekuasaan, bupati di bawah gubernur,
gubernur di bawah menteri atau presiden. "Jika bupati tidak berani mencabut
izin pertambangan yang bermasalah, gubernur bisa melakukannya, atau menteri
atau presiden. Tapi tidak ada niat politik untuk mengatasi ini. Yang ada hanya
perburuan rente."
Andrie menambahkan, setidaknya aksi menuntut reformasi
agraria pada 12 Januari 2012 lalu telah menghasilkan janji DPR untuk
menghasilkan Pansus Agraria. "Pansus ini akan kami awasi kerjanya.
Setidaknya ini jadi harapan baru," kata Andrie.
Sumber : Ibu Isyana Artharini dalam Blognya Newsroom Blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar