Sabtu, 23 Juli 2011

MEDIASI SENGKETA LINGKUNGAN

Pencemaran lingkungan hidup di areal pertambangan batubara, tentu akan merubah hidup dan kehidupan masyarakat setempat. Sebab hutan yang selama ini menjadi tumpuan hidup telah hilang. Sehingga kesulitan mencari air bersih, karena airnya sudah tercemar, gagalnya panen, tanah longsor, banjir.

Upaya yang biasa dilakukan masyarakat jika desanya terjadi pencemaran berupa:  demo ke perusahaan batubara atau upaya mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan hidup akibat pertambangan. Hal ini mengacu pada pasal  31-33 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup .

Mediasi dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Aternatif Penyelesaian Sengketa, tidak dirumuskan secara jelas pengertian mediasi. Namun mengandung substansi terhadap eksistensi berbagai macam alternatif penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan. Misalnya konsultasi, negoisasi, mediasi, rekonsiliasi diatur dalam bab II pasal 6 serta penjelasan umum UU Nomor 30 Tahun 1999.

Pengertian mediasi ada pada pasal 1 angka (6) Perma 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dirumuskan bahwa ”mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”. Kemudian pada pasal 1 angka (7) dinyatakan “mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melaui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Dengan demikian mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan secara damai oleh para pihak dengan dibantu pihak netral
           
Jadi mediator seharusnya tetap bersikap netral, selalu membina hubungan baik, berbicara dengan bahasa para pihak, mendengarkan secara aktif, menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan perbedaan-perbedaan, dan menitikberatkan persamaan. Tujuanya adalah membantu para pihak bernegoisasi secara lebih baik atas suatu penyelesaian. 

Mengingat mediator sangat menentukan efektifitas proses penyelesaian sengketa,   harusnya memenuhi kualifikasi tertentu serta berpengalaman dalam komunikasi dan negoisasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa. Jika seorang mediator  berpengalaman dan terbiasa berperkara di pengadilan, hal itu sangat membantu. Namun yang lebih penting adalah kemampuan menganalisa dan keahlian menciptkan pendekatan pribadi.

Di dalam upaya mengatasi permasalah lingkungan, pemerintah mulai menekankan pentingnya penataan dan penegakan hukum sebagai sarana pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan. Hukum dalam konteks pengelolaan lingkungan paling tidak dapat berfungsi sebagai sarana pencegahan lingkungan dan kerusakan lingkungan. Antara lain adalah hukum yang mengatur tentang kewajiban melakukan studi amdal bagi kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan. Dan hukum yang mengatur tentang perizinan dikaitkan dengan pengendalian pencemaran.

Di sisi lain hukum sebagai sarana pemulihan hak-hak yang terlanggar, dalam hal ini berkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sistem kompensasi atau ganti rugi serta pemulihan lingkungan. Untuk mengembangkan sistem penyelesaian sengketa lingkungan menurut Sunoto ada beberapa aspek khusus yaitu: karekteristik kasus, kelembagaan, hukum,pemberdayaan masyarakat, dukungan publik dan kemauan politik.

Penyelesaian sengketa lingkungan, dalam hal ini proses mediasi mengacu pada Pasal 32 UU Nomor 23 Tahun 1997, menyatakan bahwa: “dalam menyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan.

Untuk  melancarkan jalannya perundingan diluar pengadilan, para pihak yang berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga yang netral. Hal ini dituangkan dalam penjelasan pasal 32 UU Nomor 23 Tahun 1997. Sedangkan menurut pasal 6 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999, dirumuskan “dalam hal sengketa atau beda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator.

Kesepakatan yang dilakukan para pihak dengan jalan mediasi diluar pengadilan seperti pada kasus pencemaran lingkungan akibat pertambangan, tentu harus didaftarkan ke pengadilan. Hal ini, karena kesepakatan di luar pengadilan pada pasal 23 Perma Nomor 1 Tahun 2008. Dengan demikian dalam kasus pencemaran lingkungan yang terjadi akibat pertambangan, mediasi yang tempuh atas dasar undang-undang lingkungan. Namun, hasil dari proses penyelesaikan mediasi pada sengketa lingkungan tetap tunduk pada aturan Perma Nomor 1 Tahun 2008.


Tidak ada komentar: